Pintasan, Jakarta. Tahun 2025 diperkirakan akan menjadi tahun yang penuh tantangan, terutama dalam hal potensi bencana alam maupun non-alam.

Secara umum, banyak pihak menilai bahwa meningkatnya perubahan iklim, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, serta ketidakstabilan sosial-politik di berbagai wilayah dunia dapat memperbesar risiko terjadinya bencana.

Meskipun teknologi dan sistem mitigasi semakin berkembang, kenyataannya belum semua wilayah memiliki kesiapan yang memadai untuk menghadapi ancaman tersebut.

Secara umum, banyak kalangan meyakini bahwa risiko bencana alam masih akan menjadi ancaman serius di tahun 2025, khususnya bagi negara-negara yang berada di wilayah rawan geologis dan meteorologis.

Gempa bumi dan letusan gunung api, misalnya, diprediksi tetap menjadi ancaman bagi negara-negara yang terletak di Cincin Api Pasifik seperti Indonesia, Jepang, dan Turki. Aktivitas vulkanik beberapa gunung di Indonesia juga menunjukkan potensi erupsi lanjutan yang perlu diwaspadai.

Selain itu, meningkatnya frekuensi gempa dangkal di wilayah pesisir selatan Jawa dan Sumatra menimbulkan kekhawatiran akan potensi tsunami yang bisa mengancam keselamatan penduduk pesisir.

Di sisi lain, ancaman bencana hidrometeorologi seperti banjir besar, kekeringan, dan badai tropis juga dipandang sebagai potensi yang tidak bisa diabaikan.

Musim hujan ekstrem di kawasan tropis dinilai dapat meningkatkan risiko banjir bandang di berbagai daerah, termasuk kota-kota besar di Indonesia yang masih menghadapi persoalan drainase.

Sementara itu, pengaruh El Niño diyakini akan memperpanjang musim kering dan memicu kekeringan serta kebakaran hutan, terutama di wilayah yang sudah rentan seperti Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan.

Potensi gelombang panas dan badai besar di beberapa bagian dunia, serta kenaikan permukaan laut yang terus berlangsung, memperkuat opini bahwa kesiapsiagaan menghadapi bencana harus menjadi prioritas global di tahun ini.

Banyak pihak menilai bahwa tahun 2025 masih berpotensi diwarnai oleh berbagai bentuk bencana non-alam yang kompleks dan saling berkaitan. Wabah penyakit menular, termasuk kemungkinan munculnya varian baru virus atau peningkatan kasus penyakit tropis, dipandang sebagai ancaman kesehatan publik yang serius, khususnya di wilayah padat penduduk dengan sanitasi rendah.

Baca Juga :  Dampak Strategis Kunjungan Presiden Prabowo ke Lima Negara

Di saat yang sama, risiko gangguan siber dan serangan digital terhadap infrastruktur penting, seperti sistem keuangan dan pemerintahan, terus meningkat seiring ketergantungan pada teknologi. Kebakaran akibat kelalaian teknis serta kegagalan fasilitas industri juga kerap menjadi ancaman di kota-kota besar.

Krisis ekonomi global dan potensi konflik sosial dianggap dapat memperburuk kondisi ketidakstabilan nasional, terutama ketika dikaitkan dengan dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Banyak kalangan percaya bahwa tanpa langkah mitigasi yang menyeluruh, rangkaian risiko ini dapat memicu dampak sosial dan ekonomi yang luas.

Langkah mitigasi dan kesiapsiagaan merupakan bentuk upaya preventif yang sangat penting dalam menghadapi potensi bencana. Pendekatan ini diyakini dapat meminimalkan dampak terhadap keselamatan manusia, lingkungan, serta keberlangsungan sosial dan ekonomi masyarakat.

Mitigasi bencana, baik melalui pendekatan struktural seperti pembangunan infrastruktur tahan bencana maupun pendekatan non-struktural seperti edukasi publik dan regulasi tata ruang, dianggap sebagai investasi jangka panjang yang krusial.

Sementara itu, kesiapsiagaan dinilai sebagai elemen kunci untuk memastikan respons cepat dan terkoordinasi saat bencana terjadi, melalui pelatihan, pembentukan tim reaksi cepat, dan penguatan sistem logistik serta informasi di lapangan. Kombinasi kedua pendekatan ini dipandang penting untuk membangun ketahanan masyarakat secara menyeluruh.

Pemetaan wilayah rawan bencana merupakan langkah awal yang sangat penting dalam upaya mitigasi yang efektif. Dengan adanya data spasial yang akurat, pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait dapat menentukan prioritas perlindungan serta menyusun strategi penanggulangan yang lebih terarah.

Pemetaan dianggap bermanfaat untuk mengenali jenis dan tingkat bahaya, mengidentifikasi wilayah yang paling rentan, serta merancang tata ruang berbasis risiko. Berbagai jenis peta—mulai dari peta rawan gempa, tsunami, banjir, hingga penyakit menular—dinilai penting sebagai dasar perencanaan.

Sumber data dari lembaga seperti BMKG, PVMBG, dan BNPB, yang dipadukan dengan teknologi GIS dan citra satelit, juga diyakini dapat meningkatkan ketepatan informasi dan mendukung pengambilan keputusan yang lebih responsif terhadap potensi bencana.

Content Writer: Umi Hanifah