Pintasan.co, Jakarta – Pembuatan kebijakan pemerintah merupakan aspek fundamental dalam menciptakan kesejahteraan sosial yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, bukan semata-mata untuk memenuhi kepentingan segelintir kelompok elit atau oligarki.
Kebijakan yang berpihak pada rakyat akan memastikan bahwa pembangunan nasional dapat dirasakan secara adil dan berkelanjutan, memperkuat demokrasi, serta mengurangi kesenjangan sosial yang ada.
Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang berlandaskan Pancasila, dikenal sebagai demokrasi Pancasila.
Transisi sistem pemerintahan
Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami berbagai transisi dalam sistem pemerintahannya.
Setelah mengadopsi Konstitusi 1945, Indonesia melalui beberapa fase, termasuk demokrasi liberal pada 1945-1955 yang ditandai dengan ketegangan politik, serta penerapan “Demokrasi Terpimpin” oleh Soekarno pada era Orde Lama.
Orde Baru yang dipimpin Suharto mengendalikan pemerintahan secara otoriter meskipun ekonomi berkembang, hingga reformasi dimulai setelah pengunduran dirinya pada 1998.
Era reformasi membawa pemilihan umum langsung yang lebih bebas, meski tantangan seperti korupsi, intoleransi, dan ketidaksetaraan tetap ada.
Praktik demokrasi di Indonesia terus berkembang dengan partisipasi politik yang meningkat, namun masalah politik uang, intimidasi, dan manipulasi suara masih menghambat demokrasi yang sejati.
Kebebasan sipil dan keberagaman suara masyarakat semakin diakui, namun tantangan terhadap integritas sistem politik dan diskriminasi terhadap minoritas terus mengancam partisipasi politik yang inklusif.
Pemerintahan oligarki merujuk pada sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dikuasai oleh kelompok kecil individu atau elit yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan.
Menurut Plato, sebagaimana dijelaskan dalam buku Ilmu Sosial Dasar karya Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si., oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dikuasai oleh golongan yang memiliki kekayaan besar.
Praktik oligarki di Indonesia semakin berkembang, ditandai dengan fenomena desentralisasi oligarki, di mana pengaruh para elit tidak hanya terbatas pada pemerintah pusat, tetapi juga mencakup pengaruh terhadap kebijakan di tingkat daerah, serta elemen-elemen penting seperti pemilu, partai politik, dan media massa.
Pemilu yang mahal, partai politik yang pragmatis, dan media yang mencari keuntungan politik-ekonomis menjadi arena subur bagi oligarki.
Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah lebih sering berpihak pada kepentingan segelintir orang daripada rakyat, seperti yang terlihat dalam perubahan UU KPK, UU ITE, dan UU Cipta Kerja yang menguntungkan para elit dan pengusaha.
Pembentukan UU Minerba juga menunjukkan adanya kompromi antara penguasa dan pengusaha yang merusak lingkungan dan mengorbankan kepentingan rakyat.
Fenomena “state capture corruption”
Fenomena ini mencerminkan praktik “state capture corruption,” di mana pembuatan kebijakan dan hukum dimanipulasi untuk keuntungan kelompok elit, yang pada gilirannya memperburuk keadaan sosial dan ekonomi rakyat, serta merusak ekosistem.
Semua ini menggambarkan buruknya wajah demokrasi yang terjebak dalam oligarki dan nepotisme.
Kebijakan pemerintah harus memperhatikan kepentingan rakyat, bukan kepentingan oligarki, karena pemerintah memiliki tanggung jawab utama untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang merata dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Kebijakan yang berpihak pada rakyat akan memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan dapat memberikan manfaat secara adil bagi semua lapisan masyarakat, tidak hanya bagi segelintir kelompok elit.
Jika kebijakan lebih mengutamakan kepentingan oligarki, maka ketimpangan sosial akan semakin lebar, memperburuk kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin, serta merusak stabilitas sosial dan ekonomi.
Selain itu, kebijakan yang berpihak pada rakyat akan memperkuat legitimasi pemerintah, menjaga demokrasi, dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Pemerintah, sebagai pelayan publik, seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat dalam setiap kebijakan yang diambil, dengan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Penulis: Umi Hanifah (Content Writer Pintasan.co)