Pintasan.co, Semarang – Istilah “Anarko” kembali mencuat ke permukaan pasca kericuhan yang terjadi dalam aksi peringatan Hari Buruh di Semarang pada Kamis (1/5/2025).
Kelompok berpakaian hitam yang turut hadir dalam unjuk rasa langsung dituding sebagai dalang kerusuhan. Kata “Anarko” pun dengan cepat menyebar di media dan menjadi topik hangat di tengah masyarakat.
Namun, benarkah istilah “Anarko” memang identik dengan tindakan perusuh?
Menurut Semaun dan rekan-rekannya dari Asosiasi Sejarawan Anti-Otoritarian, anggapan tersebut merupakan kekeliruan yang cukup serius.
Dalam sejarah dan literatur sosial-politik, istilah Anarko atau lebih tepatnya Anarkisme, merupakan gagasan yang mengusung sistem sosial tanpa penindasan, hierarki, dan otoritarianisme.
“Anarkisme bukan tentang kekacauan. Ini tentang keteraturan tanpa paksaan,” ujar semaun, Sabtu (3/5/2025).
Dalam praktiknya, anarkisme memiliki banyak wajah: ada anarcho-sindikalis yang fokus pada perjuangan buruh, anarcho-pasifis yang menolak kekerasan, hingga anarcho-punk yang menggunakan musik sebagai medium perlawanan.
Di Indonesia, sayangnya istilah “Anarko” telah mengalami penyempitan makna yang sangat negatif, sering kali disamakan dengan tindakan perusakan dan vandalisme.
Menurut para sejarawan tersebut, aparat dan politisi kerap memanfaatkan label “Anarko” untuk mendeligitimasi kelompok-kelompok perlawanan yang tidak memiliki struktur organisasi formal.
Padahal, jika menilik sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, kontribusi kaum Anarkis tidak bisa diabaikan begitu saja.
Mereka aktif dalam serikat buruh dan laskar rakyat, ikut serta dalam perebutan kekuasaan pasca Proklamasi 1945.
“Tentu saja sabotase adalah salah satu metode yang digunakan. Tapi perlu dicatat, mereka menyabot mesin produksi bukan manusia,” kata semaun.
“Bandingkan dengan kekerasan bersenjata yang dilakukan aparat terhadap para demonstran,” sambungnya.