Pintasan.co, Jakarta – Wacana melibatkan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang, sebagaimana tertuang dalam draf revisi UU Minerba, menjadi topik yang menarik sekaligus kontroversial.
Disatu sisi, ide ini menawarkan harapan besar terhadap integrasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan.
Perguruan tinggi, dengan kapasitas riset dan inovasinya, dinilai mampu menghadirkan pendekatan baru yang lebih cerdas, efisien, dan ramah lingkungan.
Namun, disisi lain, muncul pertanyaan mendasar terkait kesiapan institusi akademik untuk menjalankan tanggung jawab sebesar itu.
Apakah kampus memiliki sumber daya, kompetensi, dan kapasitas manajerial yang cukup untuk bersaing dengan industri tambang profesional?
Secara tradisional, perguruan tinggi berperan sebagai pusat pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Jika harus mengambil peran sebagai pengelola tambang, cakupan tugasnya akan melebar secara signifikan, menuntut kemampuan manajerial tingkat tinggi, penerapan teknologi canggih, serta alokasi anggaran yang besar.
Padahal, banyak perguruan tinggi di Indonesia masih menghadapi tantangan internal yang cukup serius, mulai dari keterbatasan infrastruktur dan pendanaan hingga peningkatan kualitas pendidikan yang masih menjadi pekerjaan rumah.
Lebih jauh, keterlibatan perguruan tinggi dalam sektor tambang juga berpotensi memunculkan konflik kepentingan antara misi akademik dan tuntutan komersial.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang independen bagi riset dan inovasi bisa terjebak dalam kepentingan ekonomi yang justru mengaburkan fokus akademik.
Oleh karena itu, gagasan ini memerlukan pertimbangan matang agar tidak justru menjadi beban yang mengalihkan kampus dari misi utamanya: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan.
Diperlukan kajian dari akademisi dan industri
Meski gagasan ini lahir dari semangat kolaborasi antara akademisi dan industri, risiko pragmatis tetap harus menjadi perhatian.
Apakah perguruan tinggi mampu bersaing dengan perusahaan tambang dalam hal efisiensi operasional dan keberlanjutan? Bagaimana cara memastikan bahwa keterlibatan akademisi dalam industri ini tidak mengganggu independensi keilmuan dan transparansi riset?
Keberhasilan implementasi ide ini hanya dapat tercapai jika didukung oleh regulasi yang matang, pengawasan ketat, serta kesiapan infrastruktur dan sumber daya.
Alih-alih membebani perguruan tinggi dengan tanggung jawab baru sebagai pengelola tambang, peran kampus sebagai mitra strategis tampaknya lebih realistis dan relevan.
Dengan menjadi mitra, perguruan tinggi dapat tetap berfokus pada riset dan inovasi yang mendukung pengelolaan tambang berkelanjutan, tanpa terseret dalam kompleksitas operasional yang dapat mengganggu tujuan utama sebagai institusi pendidikan.
Tambang dapat menjadi “laboratorium hidup” bagi perguruan tinggi, tempat mahasiswa dan akademisi mengembangkan solusi aplikatif sambil tetap menjaga independensi akademik.
Namun, jika kampus mengambil peran sebagai pengelola langsung, risiko besar mengintai, baik dari segi fokus pendidikan maupun reputasi institusi.
Sebagai kesimpulan, perguruan tinggi harus tetap berpegang pada esensi utamanya sebagai pusat pendidikan, penelitian, dan inovasi.
Keterlibatan kampus dalam sektor tambang adalah gagasan ambisius yang membutuhkan regulasi matang, kesiapan infrastruktur, serta sinergi yang seimbang dengan industri.
Alih-alih mengambil alih peran pengelolaan tambang, peran sebagai mitra strategis dalam menyediakan riset dan teknologi mutakhir akan lebih efektif dalam mendorong efisiensi dan keberlanjutan sektor pertambangan.
Jika dirancang dan dikelola dengan baik, kolaborasi ini dapat membawa dampak positif bagi dunia pendidikan dan industri.
Namun, tanpa perencanaan yang cermat, ide besar ini justru berisiko menjadi beban baru.
Oleh karena itu, langkah yang paling bijak adalah memastikan bahwa setiap kebijakan yang melibatkan kampus dalam sektor tambang tetap selaras dengan tujuan utama: mencerdaskan kehidupan bangsa serta menjaga keberlanjutan dan keseimbangan ekologi.
Penulis: Sitti Rahmawati (Kontributor Sulawesi Selatan, Pintasan.co)