Pintasan.co, Yogyakarta – Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengadakan pameran temporer bertajuk “Hamongnagari” yang berfokus pada Aparatur Nagari Yogyakarta di Kagungan Dalem Pagelaran Kraton.

Pameran ini mengangkat perjalanan dan peran aparatur nagari dalam struktur pemerintahan Kraton Yogyakarta, dari era Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga saat ini, dan dibuka secara resmi oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada Jumat sore (7/3/2025).

Pameran ini akan berlangsung mulai 7 Maret 2025 hingga 24 Agustus 2025, dan terbuka untuk umum.

Dalam acara pembukaan, juga disajikan peragaan busana khas Aparatur Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang menampilkan atribut resmi Abdi Dalem beserta simbol-simbolnya.

Setiap elemen dalam busana memiliki makna filosofis yang tetap dijaga dan dilestarikan hingga kini.

Selain itu, pameran ini juga menampilkan koleksi sejarah, termasuk dokumen-dokumen kuno, struktur kelembagaan pemerintahan Kraton, serta peninggalan budaya yang masih ada hingga saat ini.

Sejarah tersebut bahkan tercermin dalam toponimi kampung-kampung di Yogyakarta, yang menggambarkan warisan administratif dari masa lampau.

Melalui pameran ini, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengundang masyarakat untuk memahami dan meresapi nilai dharma bhakti Abdi Dalem yang telah berbakti.

Setiap tampilan wastro para aparatur nagari menyimpan makna mendalam, mencerminkan berbagai fungsi mereka.

Busana tersebut bukan hanya sekadar pakaian, tetapi juga mencerminkan struktur sosial, pangkat, dan filosofi yang terkait dengan budaya Keraton Yogyakarta.

Jejak Aparatur Nagari Ngayogyakarta

Dalam sambutannya, Sri Sultan mengungkapkan Pameran Hamongnagari ini menjadi sarana untuk menelusuri jejak panjang eksistensi Aparatur Nagari Ngayogyakarta.

“Pameran ‘Hamongnagari’, mencerminkan ruang ‘ciptaning cipta’ atas falsafah ‘Darmaning Satriya Mahanani Rahayuning Nagara’, sekaligus menjadi ruang, untuk menelusuri jejak panjang eksistensi Aparatur Nagari Ngayogyakarta. Merekalah, yang telah turut menghidup-hidupi, dan menjaga kedaulatan Karaton. Sejarah Karaton, adalah juga tentang mereka, yang mengabdikan hidupnya dalam barisan ‘pangembating praja’. Setya tuhu ing pangawulan, Sregep marang pagawean kang wus winajibake,” lanjutnya.

Mereka, adalah perwujudan makna “Manunggaling Kawula Lan Gusti”, sekaligus jembatan, yang menghubungkan antara kepemimpinan dengan pengabdian. 

Baca Juga :  Gibran Rakabuming Minta Maaf atas Keterlambatan di Sidang Raya PGI ke-18

Nilai-nilai itu, tidak hanya hidup dalam laku dan tutur, tetapi juga terwujud dalam berbagai bentuk rupa.

Salah satunya adalah “wastra”. “Wastra” dalam tradisi Kraton bukan sekadar pakaian. Melainkan simbol “kawibawan lan kawiryan”—mencerminkan nilai dwitunggal “Ajining diri ana ing Lathi,  Ajining Raga ana ing Busana”, seiring harkat busana sebagai “ageman” sekaligus “piandel”.

” eksistensi Kraton, termanifestasi pula dari cara aparatnya, dalam membawa diri atau “among raga”, sekaligus “among rasa”dalam menghayati tugasnya,”urainya.

Dalam kesempatan tersebut, Sultan mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada seluruh aparatur nagari yang telah berdedikasi dan memberikan bantuan kepadanya selama ini.

Sementara itu, Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nitya Budaya Kraton Yogyakarta, yang juga menjabat sebagai Ketua Pameran GKR Bendara, menjelaskan bahwa pameran ini diselenggarakan sebagai media untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sistem pemerintahan yang diterapkan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I.

“Sultan HB I tidak hanya membagi wilayah Yogyakarta dalam kategori kutanegara, negara agung, mancanegara, dan pesisir, tetapi juga membentuk pemerintahan dari masing-masing kawasan,” kata GKR Bendara.