Pintasan.co, Yogyakarta – Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman memiliki sejarah yang panjang dan penuh perubahan.
Awalnya, bangunan yang kini menjadi museum ini didirikan pada tahun 1890 sebagai rumah pribadi Tuan Weinschenk, seorang pejabat keuangan dari Puro Pakualaman.
Saat masa pendudukan Jepang, bangunan tersebut beralih fungsi sebagai tempat tinggal bagi para perwira Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, bangunan ini menjadi Markas Kompi “Tukul” dari Batalyon Letnan Kolonel Suharto selama tiga bulan.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, gedung ini menjadi Markas Komando Militer Kota Yogyakarta. Bangunan ini kemudian difungsikan sebagai asrama Resimen Infanteri XIII dan juga sebagai tempat tinggal bagi para penyandang disabilitas.
Selanjutnya, dari tanggal 17 Juni 1968 hingga 30 Agustus 1982, bangunan ini difungsikan sebagai Museum Angkatan Darat.
Pada 31 Agustus 1982, museum ini diresmikan ulang dengan nama baru, Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman, oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Poniman.
Museum ini memiliki berbagai koleksi unik, seperti patung buste Jenderal Sudirman, beragam jenis senjata, piagam penghargaan, serta perlengkapan dan seragam yang dipakai Jenderal Sudirman selama bertugas, termasuk replika tandu yang dipakai dalam Perang Gerilya.
Museum ini juga dilengkapi diorama yang menggambarkan perjalanan gerilya Jenderal Sudirman, serta dokumentasi tentang momen-momen penting dalam kariernya, foto-foto, artikel-artikel media, dan surat-surat dari sahabat serta rekan-rekannya.
Termasuk di antaranya adalah surat belasungkawa terkait wafatnya Jenderal Sudirman pada 29 Januari 1950 di Rumah Peristirahatan Tentara Badakan, Magelang.
Arsitektur Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman sangat menarik dan unik. Bangunannya berbentuk segi empat dan menghadap ke timur.
Desain arsitekturnya menunjukkan perpaduan gaya yang menawan, terlihat pada tiang-tiang bergaya korintia yang dihiasi dengan motif tradisional, mirip dengan ornamen yang ada di keraton.
Bangunan museum ini memiliki ciri khas tersendiri, dengan dinding yang terbuat dari keramik, atap berbentuk limasan dengan rangka kayu, dan penutup atap yang menggunakan sirap.
Lantainya dilapisi dengan tegel bermotif, sementara pintu dan jendela dibuat dari daun krepyak dan kaca besar yang memungkinkan sirkulasi udara yang baik dan pencahayaan alami yang maksimal.