Pintasan.co, Jakarta – Suasana negeri sedang bergejolak. Jalan-jalan ibu kota dipenuhi ribuan massa yang menyerukan satu tuntutan yaitu pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat. Spanduk, poster, dan teriakan menggema, membawa semangat yang sudah lama terpendam di dada rakyat. Mereka menuduh DPR telah kehilangan legitimasi moral; alih-alih menjadi wakil suara rakyat, ia dianggap hanya memperjuangkan kepentingan segelintir elite.
Di tengah sorak-sorai itu, pertanyaan besar pun mengemuka: apakah ini sebuah makar, atau justru sebuah keharusan dalam menegakkan kedaulatan rakyat?
Bagi sebagian pihak, gerakan pembubaran DPR dipandang sebagai tindakan yang melawan konstitusi, mengancam stabilitas negara, bahkan dituding sebagai upaya kudeta terselubung. Mereka menegaskan bahwa negara berdiri atas hukum, dan setiap perubahan harus ditempuh lewat mekanisme demokrasi yang sah.
Namun, bagi para demonstran, kata “makar” hanyalah stempel yang dipakai untuk menakut-nakuti rakyat. Mereka melihat DPR yang ada kini telah jauh menyimpang dari amanat reformasi. Skandal demi skandal, praktik korupsi, serta undang-undang yang dinilai berpihak pada oligarki telah mengikis kepercayaan publik. Dalam pandangan mereka, melawan lembaga yang dianggap tidak lagi mewakili rakyat bukanlah makar, melainkan sebuah keharusan sejarah.
Gelombang demonstrasi ini akhirnya menjadi panggung pertarungan wacana: apakah revolusi sosial-politik adalah jalan yang sah untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, ataukah itu sekadar ilusi yang dapat meruntuhkan fondasi negara?
Sejarah bangsa ini pernah mencatat, dari revolusi kemerdekaan hingga reformasi, bahwa suara rakyat sering kali lahir dari jalanan, bukan dari ruang rapat yang dingin. Maka, pertanyaan yang kini menggantung di udara adalah, Apakah revolusi kali ini akan tercatat sebagai makar, atau justru dikenang sebagai sebuah keharusan demi menyelamatkan Indonesia?
Begitu juga dengan sejarah revolusi dunia yang dimulai dari revolusi Amerika
Revolusi Amerika (1775–1783): Revolusi ini mengarah pada kemerdekaan 13 koloni Amerika dari Inggris, mendirikan Amerika Serikat, dan menyebarkan cita-cita liberalisme dan hak-hak pribadi.
Revolusi Prancis (1789–1799): Menggulingkan monarki Prancis, revolusi ini menjadi simbol gerakan untuk demokrasi liberal, nasionalisme, dan kebangkitan sosialisme yang mempengaruhi dunia.
Revolusi Industri (pertengahan abad ke-18 pertengahan abad ke-19): Ditandai dengan penemuan mesin-mesin seperti mesin uap dan alat pemintal, revolusi ini mengubah Inggris dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, dengan produksi massal dan perkembangan pabrik.
Revolusi Tiongkok (1911): Mengakhiri Dinasti Qing dan kekaisaran Tiongkok, revolusi ini membuka jalan bagi perubahan politik dan sosial yang signifikan di Tiongkok.
Revolusi Rusia (1917): Terdiri dari dua fase, Revolusi Februari yang menggulingkan Tsar Nicholas II, dan Revolusi Oktober yang membawa kelompok Bolshevik ke kekuasaan, mengubah Rusia menjadi negara sosialis.
Revolusi Kuba (1953–1959): Revolusi yang dipimpin oleh Fidel Castro ini menghasilkan sistem komunis dan sering kali menjadi topik perdebatan karena dampaknya terhadap kemiskinan dan politik global.
Revolusi Iran (1979): Menggulingkan monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, revolusi ini mengubah Iran menjadi Republik Islam, yang sering disebut sebagai revolusi terbesar ketiga setelah Revolusi Prancis dan Rusia.
Perlukah DPR Dibubarkan di Negara Demokrasi seperti Indonesia?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi Indonesia. Kehadirannya tidak sekadar simbol, melainkan wadah penyaluran aspirasi rakyat yang dijalankan melalui mekanisme perwakilan. Namun, dalam praktiknya, DPR kerap menuai kritik keras: mulai dari isu korupsi, rendahnya kinerja legislasi.
Lebih parahnya hingga jarak yang dirasakan antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya dan yang terbaru adalah soal kenaikan gaji dan tunjangan para Anggota DPR yang dinilai berbanding terbalik dengan pendapatan perkapita rata-rata masyarakat Indonesia yang saat ini jauh dari kata cukup hal itu juga tidak sejalan dengan asa cita presiden Prabowo yang mengkampanyekan efisiensi anggaran demi kesejahteraan rakyat.
Suatu yang pertanyaan paling subtansial dengan keadaan Negara saat ini: apakah DPR masih menjadi respentatif masyarakat, atau justru perlu dibubarkan?
- Fungsi dan Kedudukan DPR dalam Demokrasi
Dalam teori demokrasi modern, lembaga legislatif adalah penyeimbang (check and balance) bagi kekuasaan eksekutif maupun yudikatif.
Salah satu fungsi DPR adalah membuat undang-undang, menyusun anggaran, serta mengawasi pemerintah. Tanpa DPR, proses demokrasi bisa kehilangan salah satu instrumen kontrol penting, sehingga membuka jalan bagi kekuasaan yang lebih otoriter dan absolut. - Kritik dan Kekecewaan Publik
Kekecewaan publik terhadap DPR sering kali berakar dari perilaku anggotanya yang dianggap lebih mementingkan kepentingan partai atau kelompok dibanding rakyat. Mulai dari skandal suap, pembahasan undang-undang yang dinilai tidak pro-rakyat dan lebih pro terhadap kaum elite, hingga absensi dalam sidang menambah ketidakpercayaan masyarakat ditambah dengan arogansi beberapa anggota DPR yang diperlihatkan pada publik dengan narasi-narasi yang merendahkan martabat rakyat Indonesia sehingga Kondisi ini menimbulkan narasi atau konsumsi intelektual dengan pertanyaan mendasar: apakah DPR benar-benar masih dibutuhkan?
Dan Apakah Solusinya adalah Pembubaran?
Membubarkan DPR dalam sistem demokrasi justru kontradiktif. Demokrasi butuh representasi rakyat, dan wadah itu adalah parlemen. Jika DPR dibubarkan, siapa yang akan menyerap, merumuskan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat dalam aturan hukum negara. Yang lebih mungkin diperlukan bukan pembubaran, melainkan reformasi kelembagaan: memperbaiki mekanisme rekrutmen partai politik, memperketat sistem pengawasan, serta memperluas keterlibatan publik dalam proses legislasi.
Jalan Tengah Reformasi dan Kontrol Publik
Alih-alih membubarkan, masyarakat perlu mendorong transformasi DPR. Transparansi kinerja, digitalisasi proses legislasi, serta partisipasi publik dalam pembahasan undang-undang bisa menjadi langkah korektif. Dengan tekanan publik yang konsisten, DPR dapat dipaksa kembali pada jalurnya sebagai representasi rakyat, bukan sekadar alat kepentingan politik sempit.
Kesimpulannya, Membubarkan DPR di negara demokrasi seperti Indonesia bukanlah solusi tepat, sebab justru akan melemahkan mekanisme demokrasi itu sendiri. Yang mendesak dilakukan adalah reformasi mendalam terhadap DPR agar benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan sekadar untuk partai atau elit politik. Dengan begitu, keberadaan DPR bukan menjadi beban demokrasi, melainkan penguatnya.
Penulis : Enggi Indra Saputra (Tokoh Pemuda Sulawesi Tenggara, Fungsionaris PB HMI 2024 – 2026)