:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4538067/original/022080200_1692070770-10524560_4473493_1_.jpg)
Pintasan.co – Penetapan seseorang sebagai pahlawan nasional sering kali menjadi topik yang memicu perdebatan publik. Banyak pihak menilai bahwa gelar tersebut harus diberikan dengan sangat selektif, mempertimbangkan kontribusi nyata serta integritas moral tokoh yang bersangkutan. Dalam beberapa kasus, muncul usulan tokoh-tokoh tertentu yang menimbulkan pertanyaan: apakah mereka benar-benar layak mendapat gelar pahlawan?
Penetapan seseorang sebagai pahlawan nasional di Indonesia merupakan suatu proses yang melalui berbagai tahapan, mulai dari pengajuan usulan oleh pemerintah daerah, verifikasi berdasarkan kajian historis, hingga penetapan resmi oleh Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres).
Mengingat sifatnya yang dinamis serta biasanya diumumkan menjelang peringatan Hari Pahlawan pada 10 November, daftar tokoh yang akan dianugerahi gelar tersebut dapat mengalami perubahan setiap tahunnya.
Penetapan gelar pahlawan nasional pada dasarnya merupakan proses yang tidak statis dan sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan. Secara umum, banyak pihak meyakini bahwa dinamika ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyeleksi tokoh-tokoh secara cermat dan relevan dengan konteks zaman.
Setiap tahun, muncul usulan baru dari pemerintah daerah, organisasi, maupun keluarga, yang menilai tokoh tertentu layak mendapat penghargaan atas jasa luar biasa bagi bangsa.
Namun, proses ini tidak serta-merta menghasilkan keputusan akhir, karena masih harus melalui kajian ketat dari tim ahli dan Dewan Gelar, serta mempertimbangkan nilai-nilai tertentu yang ingin diangkat.
Hal ini menjadikan daftar pahlawan nasional bersifat fluktuatif dan menyesuaikan dengan perkembangan serta kebutuhan narasi kebangsaan yang ingin ditegaskan oleh negara.
Secara umum, dalam wacana publik kerap muncul sejumlah nama tokoh yang dianggap layak untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional karena kontribusi mereka yang signifikan bagi bangsa.
Nama-nama seperti KH Noer Alie, seorang ulama dan pejuang kemerdekaan asal Bekasi, maupun Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Republik Indonesia, sering kali disebut sebagai sosok yang memiliki jasa besar—dan beberapa di antaranya bahkan telah ditetapkan secara resmi, seperti Sjahrir pada tahun 2022.
Tokoh perempuan seperti HR Rasuna Said dan Laksamana Malahayati juga menjadi representasi penting dalam perjuangan, yang kini telah mendapatkan pengakuan negara.
Selain itu, figur seperti KH Ahmad Sanusi dari Sukabumi dan Kiai Sadrach, tokoh Kristen pribumi yang membela hak rakyat di era kolonial, turut menjadi bagian dari diskursus mengenai siapa yang layak memperoleh gelar pahlawan nasional.
Banyak pihak berpandangan bahwa penetapan tokoh-tokoh sebagai pahlawan nasional memiliki relevansi yang sangat penting, baik dalam konteks sejarah maupun untuk kepentingan bangsa di masa kini dan mendatang. Hal ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan atas jasa-jasa luar biasa yang telah diberikan oleh individu-individu dalam memperjuangkan atau membangun kemerdekaan, tetapi juga memperkuat identitas nasional yang inklusif dan beragam.
Di sisi lain, figur para pahlawan juga kerap dianggap sebagai sumber inspirasi moral dan keteladanan yang dapat memotivasi masyarakat untuk mengedepankan nilai-nilai seperti keberanian, pengorbanan, dan semangat persatuan.
Penetapan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang dan daerah yang selama ini belum banyak diakui pun dinilai penting dalam membentuk narasi sejarah yang adil dan representatif, demi memperkuat rasa memiliki dan kebangsaan di tengah masyarakat yang majemuk.
Oleh karena itu, kehadiran pahlawan nasional dipandang tidak hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi juga sebagai pijakan penting dalam membentuk karakter bangsa menuju masa depan yang lebih baik.
Content Writer Pintasan.co – Umi Hanifah