Pintasan.co – Dalam Islam, tubuh manusia, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, memiliki kehormatan yang wajib dijaga. Oleh karena itu, tindakan medis seperti bedah jenazah (otopsi) memerlukan pertimbangan yang sangat hati-hati berdasarkan syariat Islam. Pandangan Islam terhadap bedah mayat mencakup aspek etika, hukum, dan tujuan dari tindakan tersebut.

Kehormatan Tubuh Manusia dalam Islam

Islam menekankan penghormatan terhadap tubuh manusia, bahkan setelah kematian. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ:


“Mematahkan tulang mayit sama seperti patahnya tulang orang yang masih hidup dalam hal dosa.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadis ini menunjukkan pentingnya menjaga keutuhan tubuh jenazah dan menghindari perlakuan yang tidak hormat atau tidak perlu terhadapnya.

Bedah Mayat dalam Konteks Medis

Dalam dunia medis, bedah mayat atau otopsi sering dilakukan untuk beberapa tujuan, antara lain:

  • Mengidentifikasi Penyebab Kematian. Untuk keperluan medis atau hukum.
  • Penelitian Ilmiah. Dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran.
  • Pendidikan Kedokteran. Sebagai bagian dari pelatihan calon dokter.

Hukum Islam tentang Bedah Mayat

Hukum Islam membahas bedah mayat dalam dua konteks utama:

  • Hukum Dasar (Asal). Pada dasarnya, bedah mayat tidak diperbolehkan karena melibatkan pelanggaran kehormatan pada jenazah.
  • Hukum dalam Kondisi Darurat. Dalam situasi tertentu, pembedahan mayat dapat diperbolehkan jika memiliki tujuan yang jelas dan mendesak, seperti:

Penyelidikan sebab kematian dalam kasus kriminal.

Penelitian medis untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, seperti memahami penyakit menular.

Keputusan ini diambil berdasarkan kaidah fikih:


“Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang.”

Namun, tindakan ini harus dilakukan dengan batasan ketat:

  • Izin keluarga pemakaman (jika memungkinkan).
  • Tidak ada cara lain untuk mencapai tujuan yang sama.
  • Menghindari tindakan yang tidak perlu terhadap pemakaman.
Baca Juga :  Hukum Sholat Berjamaah dalam Islam

Fatwa Ulama dan Pandangan Mazhab

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun secara umum mereka sepakat bahwa otopsi dapat diperbolehkan jika terdapat kebutuhan mendesak atau darurat.

  • Mazhab Syafi’i dan Maliki. Lebih ketat dalam melarang tindakan yang merusak jenazah, kecuali dalam kondisi darurat.
  • Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam beberapa fatwa, MUI membolehkan otopsi dengan syarat sesuai kebutuhan dan tetap memperingati pemakaman.

Dalam Islam, tindakan medis seperti pembedahan jenazah adalah hal yang sensitif dan harus didasarkan pada tujuan yang benar, kebutuhan yang mendesak, serta dilakukan dengan cara yang menghormati jenazah. Dalam situasi darurat, otopsi dapat diperbolehkan menjadi bentuk maslahat (kemanfaatan) yang lebih besar, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip syariat.

Oleh karena itu, setiap tindakan medis terhadap pemakaman memerlukan pertimbangan yang matang, melibatkan ulama, ahli medis, dan keluarga pemakaman agar tidak melanggar nilai-nilai Islam.