Pintasan.co, Jakarta – Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang mencuat usai peringatan Hari Lahir Pancasila menjadi sorotan publik dan media sosial.

Sejumlah pihak, termasuk segelintir purnawirawan TNI, mendorong opsi pemakzulan atas dasar dugaan pelanggaran etik dalam proses pencalonannya.

Namun, banyak pihak menilai langkah ini lebih bernuansa politis daripada konstitusional.

Aspirasi tersebut muncul dari forum-forum sipil dan pernyataan terbuka sejumlah tokoh nasional.

Narasi “pemakzulan” cepat menyebar di media daring, namun segera ditanggapi sinis oleh masyarakat yang menilai bahwa kritik tersebut tidak berakar pada kerangka hukum yang utuh.

Beberapa ahli hukum tata negara menegaskan bahwa konstitusi tidak mengatur pemakzulan wakil presiden secara terpisah dari presiden, kecuali dalam konteks yang sangat spesifik dan dibuktikan melalui mekanisme Mahkamah Konstitusi.

Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menyebut wacana pemakzulan Gibran lebih menyerupai kegaduhan yang disengaja ketimbang upaya korektif yang sahih.

“Jika konstitusi dibengkokkan hanya demi tekanan politik, maka justru demokrasi kita yang dipermainkan. Ini bukan soal suka atau tidak, tapi soal hukum yang harus dijalankan secara konsisten,” kata Romadhon dalam keterangannya, Rabu (4/5/2025)

Sementara itu, pantauan di platform berbagai media sosial menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat justru menyoroti inkonsistensi moral dari para pengusul.

Banyak pengguna mempertanyakan mengapa isu ini baru diangkat setelah pemilu selesai dan posisi Gibran sudah resmi menjabat.

Sejumlah cuitan menyebut pemakzulan ini sebagai bentuk “frustrasi elite” yang kalah narasi dalam kontestasi elektoral.

Romadhon menilai bahwa kritik memang bagian penting dalam demokrasi, tetapi harus diletakkan pada tempatnya.

“Menyerang wakil presiden dengan narasi pemakzulan tanpa dasar konstitusional yang kuat hanya akan menggerus kepercayaan publik terhadap sistem politik,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa koreksi terhadap praktik kekuasaan sebaiknya disalurkan melalui jalur hukum dan pemilu, bukan mobilisasi tekanan di luar hukum.

Baca Juga :  DPC PDI Perjuangan Kota Jogja Dukung Keputusan DPP PDI Perjuangan Pecat Jokowi, Gibran dan Bobby

Di sisi lain, respons Istana dan kubu pemerintah relatif tenang. Beberapa menteri menyebut hal ini sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, namun menekankan bahwa pemerintah tetap berfokus pada agenda kerja.

Di lapangan, program prioritas nasional seperti makan siang gratis dan pembangunan infrastruktur tetap berjalan sesuai jalur.

Menurut Romadhon, yang dibutuhkan saat ini adalah pemulihan rasionalitas publik dalam berpolitik.

“Kita tidak boleh membiasakan diri menggiring emosi rakyat hanya untuk memenuhi syahwat politik elite. Demokrasi bukan ajang balas dendam kekuasaan,” tegasnya.

Ia menyarankan agar forum-forum sipil lebih mendorong literasi konstitusi dibanding agitasi politik.

Beberapa pakar juga mengingatkan bahwa tekanan berlebihan terhadap legitimasi hasil pemilu justru bisa memperlemah demokrasi itu sendiri.

Mereka menyarankan agar oposisi memperkuat pengawasan kebijakan, bukan meluncurkan manuver simbolik yang berpotensi memperkeruh stabilitas nasional.

Romadhon menegaskan, “Sudah saatnya kita tinggalkan pola politik gaduh dan kembali membangun ruang dialog yang sehat dan solutif. Demokrasi harus dikawal dengan akal sehat, bukan dengan opini sembrono yang menabrak hukum,” pungkasnya.