Pintasan.co, Jakarta – Gagasan mengenai penempatan narapidana korupsi di penjara yang terisolasi di pulau terpencil kerap muncul sebagai bentuk hukuman yang lebih berat bagi pelaku tindak pidana korupsi. Konsep ini bertujuan untuk memberikan efek jera, mencegah mereka memperoleh fasilitas mewah selama masa tahanan, serta membatasi interaksi dengan jaringan korupsi yang masih aktif.

Di Indonesia, wacana mengenai penjara khusus bagi koruptor di pulau terpencil telah beberapa kali dibahas oleh berbagai pihak, baik dari kalangan politisi maupun masyarakat. Salah satu usulan yang sering muncul adalah penempatan narapidana korupsi di Pulau Nusakambangan, yang telah dikenal sebagai lokasi bagi narapidana dengan kasus berat.

Beberapa pihak menganggap Nusakambangan sebagai tempat yang ideal karena fasilitasnya lebih ketat dibandingkan lembaga pemasyarakatan pada umumnya, sehingga dapat mengurangi kemungkinan koruptor mendapatkan perlakuan istimewa.

Selain itu, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta tokoh antikorupsi pernah mengusulkan pembangunan penjara khusus bagi koruptor di pulau terpencil. Tujuan utama dari wacana ini adalah untuk memastikan bahwa narapidana korupsi tidak mendapatkan kemudahan dalam menjalani hukuman dan mencegah mereka melakukan kolusi dengan pihak luar.

Namun, hingga saat ini, gagasan tersebut belum terealisasi karena adanya berbagai kendala, termasuk pertimbangan hak asasi manusia serta tingginya biaya operasional yang diperlukan untuk membangun dan mengelola fasilitas semacam itu.

Selain dari kalangan politik, gagasan ini juga mendapat perhatian dari akademisi dan aktivis antikorupsi. Mereka menyoroti bagaimana beberapa narapidana kasus korupsi masih dapat menikmati berbagai fasilitas mewah dan bahkan mengendalikan bisnis mereka dari dalam penjara.

Oleh karena itu, ide mengenai penjara terpencil bagi koruptor kerap muncul sebagai reaksi terhadap berbagai temuan mengenai perlakuan khusus yang diterima oleh para koruptor selama menjalani hukuman.

Menempatkan narapidana korupsi di penjara yang terisolasi di pulau terpencil merupakan langkah efektif untuk memberikan efek jera dan membatasi akses mereka terhadap fasilitas mewah serta jaringan korupsi.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Prancis telah menerapkan konsep serupa, yang terbukti mampu mengurangi peluang tahanan menjalankan aktivitas ilegal. Meskipun ada kekhawatiran terkait hak asasi manusia, hal ini dapat diatasi dengan memastikan fasilitas di dalam penjara tetap memenuhi standar minimum kemanusiaan.

Selain itu, meskipun biaya operasionalnya tinggi, investasi ini sebanding dengan manfaat jangka panjang dalam menekan angka korupsi yang telah merugikan negara dalam jumlah besar. Namun, efektivitas model ini tidak hanya bergantung pada seberapa jauh lokasi penjara, tetapi juga pada pembenahan sistem hukum dan pengawasan yang ketat. Tanpa reformasi peradilan yang lebih transparan dan bebas dari kepentingan politik, hukuman berat sekalipun tidak akan cukup untuk memberantas korupsi secara sistematis.

Baca Juga :  Prabowo: Saya Tidak Maafkan Koruptor tapi Kembalikan yang Mereka Curi

Jika Indonesia menerapkan sistem penjara khusus bagi koruptor di pulau terpencil, dapat menimbulkan dampak yang beragam, baik dari segi manfaat maupun tantangan yang menyertainya.

Dari sudut pandang positif, kebijakan ini berpotensi menciptakan efek jera yang lebih kuat dengan membatasi akses narapidana terhadap fasilitas mewah dan hubungan dengan jaringan korupsi, sehingga mengurangi kemungkinan mereka tetap berpengaruh di luar penjara. Selain itu, langkah ini dapat menekan praktik korupsi di dalam lembaga pemasyarakatan, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, serta membantu mengurangi kepadatan di lapas umum.

Namun, gagasan ini juga menghadapi berbagai kendala, salah satunya adalah tingginya biaya operasional yang diperlukan untuk membangun serta mengelola penjara di lokasi terpencil, mencakup aspek infrastruktur, logistik, dan keamanan. Isu hak asasi manusia pun menjadi perhatian, terutama jika fasilitas yang disediakan tidak memenuhi standar internasional, yang dapat memicu kritik dari berbagai pihak.

Selain itu, ada risiko penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan, yang dapat membuat tempat tersebut justru menjadi fasilitas istimewa bagi mereka yang memiliki pengaruh besar. Faktor lain seperti kompleksitas pengawasan dan potensi ancaman bencana alam juga harus dipertimbangkan sebelum kebijakan ini diterapkan.

Jika Indonesia menerapkan penjara bagi koruptor di pulau terpencil, beberapa lokasi memiliki potensi untuk dijadikan tempat tersebut. Pulau Nusakambangan, yang sudah dikenal dengan sistem pengamanannya yang ketat, bisa menjadi pilihan karena infrastruktur dasarnya sudah tersedia.

Kepulauan Natuna, dengan lokasinya yang jauh dari pusat pemerintahan dan akses laut yang sulit, dapat sekaligus berfungsi sebagai strategi pertahanan wilayah. Pulau Buru, yang pernah digunakan sebagai tempat pembuangan tahanan politik, memiliki ruang untuk pengembangan infrastruktur pemasyarakatan yang lebih modern.

Sementara itu, Pulau Morotai bisa menawarkan pendekatan rehabilitasi dengan kerja sosial, sedangkan Pulau Enggano yang jarang dihuni dapat meminimalkan interaksi ilegal. Dengan memilih lokasi yang tepat, efektivitas sistem penjara ini dapat lebih terjamin dalam menekan korupsi.

Secara keseluruhan, penerapan penjara di pulau terpencil bisa menjadi solusi menarik untuk meningkatkan efek jera bagi koruptor, tetapi harus dirancang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan masalah baru.

Penulis: Umi Hanifah (Content Writer Pintasan.co)