Pintasan.co, Jakarta – Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump mengambil langkah mengejutkan dengan menunda pemberlakuan tarif resiprokal selama 90 hari.
Dalam masa penundaan tersebut, seluruh negara dikenai tarif impor seragam sebesar 10 persen, kecuali Tiongkok yang justru mendapat tarif lebih tinggi hingga 125 persen.
Langkah ini dinilai oleh para pengamat sebagai strategi penuh kegelisahan dari pihak Washington.
Guru Besar Ekonomi dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyatakan bahwa penundaan ini menunjukkan kecemasan Trump akan potensi reaksi keras dari negara-negara yang terdampak.
Menurutnya, jika terlalu banyak negara menolak tekanan tersebut, strategi Trump bisa gagal total.
“Trump hanya mencoba membeli waktu. Ini bukan tanda kompromi, tapi sinyal bahwa strateginya bisa dianggap ancaman yang tidak kredibel dan berisiko memicu respons kolektif dari komunitas internasional,” terang Syafruddin pada Kamis, 10 April 2025.
Alih-alih menunjukkan sikap lunak, Syafruddin menyarankan agar Indonesia memanfaatkan momen ini untuk memperkuat posisi tawar.
Salah satu strateginya adalah membangun koalisi perdagangan dengan negara-negara lain yang juga terdampak kebijakan tarif sepihak dari AS, serta merumuskan langkah diplomatik berbasis kesetaraan.
“Indonesia harus menunjukkan bahwa kita siap berdialog, tapi dalam kerangka yang adil dan bermartabat. Ini akan menegaskan bahwa kita tidak mudah ditekan dan mampu mengambil peran aktif dalam pembentukan sistem perdagangan dunia yang lebih berimbang,” ujarnya.
Syafruddin juga mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang berniat memanfaatkan masa jeda 90 hari tersebut untuk membangun kerangka kerja sama baru antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Ia menekankan bahwa inisiatif bilateral ini harus selaras dengan penguatan solidaritas kawasan bersama negara-negara ASEAN.
Menurutnya, menghadapi tekanan sepihak dari AS tidak cukup dengan respons individu.
Dibutuhkan pendekatan kolektif yang terstruktur, seperti penguatan rantai pasok kawasan, penyelarasan standar industri, dan pembukaan pasar di dalam ASEAN.
“Ini bukan hanya soal reaksi jangka pendek, tapi membentuk poros kekuatan baru dari negara berkembang. Kalau konsisten dijalankan, Indonesia tidak hanya memperkuat fondasi ekonomi nasional, tetapi juga turut memimpin transformasi ASEAN menjadi kekuatan ekonomi regional yang lebih tangguh, mandiri, dan dihormati secara global,” tutup Syafruddin.