Pintasan.co, Jakarta – Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 mengalami penurunan di sejumlah daerah, termasuk di Jakarta dan Sumatera Utara.

Penurunan ini menarik perhatian berbagai kalangan, termasuk peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal.

Menurut Haykal, di Jakarta sekitar 53 persen pemilih dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) menggunakan hak suara mereka.

Jika dihitung berdasarkan jumlah surat suara yang digunakan, angka tersebut hanya mencapai 57 persen. Sementara itu, di Sumatera Utara, partisipasi pemilih tercatat di angka 50 persen.

Penyebab Rendahnya Partisipasi Pemilih

Haykal menjelaskan ada beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada kali ini.

Salah satunya adalah minimnya waktu sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.

Dia mengungkapkan, meskipun sosialisasi sangat penting untuk meningkatkan partisipasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadapi kendala besar karena waktu yang terbatas.

“Waktu sosialisasi yang singkat membuat KPU kesulitan melakukan kampanye pemilu secara masif, berbeda dengan Pilpres atau Pileg yang memiliki waktu lebih panjang untuk mensosialisasikan calon dan program mereka,” ujar Haykal pada Selasa (3/12/2024).

Selain itu, jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang terbatas juga menjadi kendala. Haykal mencatat, jumlah TPS dalam Pilkada 2024 hanya separuh dari jumlah TPS pada Pemilu 2024, dan beberapa TPS terletak cukup jauh dari tempat tinggal pemilih. Hal ini membuat sebagian pemilih enggan untuk datang ke TPS.

Kejenuhan pemilih juga menjadi faktor non-teknis yang tak bisa diabaikan. Haykal menilai, banyak pemilih yang sudah merasa jenuh dengan proses politik yang terus berulang, terutama setelah gelaran Pemilu 2024 yang baru saja selesai.

“Pemilih merasa sudah terlalu sering mengikuti pemilu dalam waktu singkat, yang menyebabkan mereka kehilangan minat untuk memilih,” kata Haykal.

Ketidakpuasan terhadap Kandidat

Selain faktor teknis dan kejenuhan, ketidakpuasan terhadap kandidat juga turut memengaruhi rendahnya partisipasi. Haykal menilai, banyak pemilih yang merasa tidak ada pilihan yang cukup meyakinkan dalam Pilkada 2024.

“Di Jakarta, misalnya, meskipun beberapa nama memiliki elektabilitas tinggi sebelum pendaftaran, mereka tidak berhasil mendapatkan dukungan dari partai politik. Ini menunjukkan bahwa pemilih tidak merasa ada kandidat yang sesuai dengan harapan mereka,” terang Haykal.

Dampak Golput terhadap Legitimasi Pemimpin

Haykal juga mengingatkan bahwa tingginya angka golput (golongan putih) dapat berdampak pada legitimasi pemimpin yang terpilih.

Baca Juga :  Herindra Ditunjuk sebagai Kepala BIN Baru: DPR Terima Surat Presiden

Jika jumlah pemilih yang berpartisipasi rendah, maka legitimasi pemimpin yang terpilih juga akan terganggu. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pemimpin terpilih dalam menjalankan roda pemerintahan.

“Legitimasi yang rendah akan menjadi beban berat bagi pemimpin yang terpilih. Mereka harus bekerja lebih keras untuk membuktikan bahwa mereka memang layak memimpin,” ujar Haykal.

Evaluasi untuk Pemilu di Masa Mendatang

Menanggapi fenomena ini, Haykal berharap agar penyelenggara pemilu dan partai politik dapat melakukan evaluasi untuk meningkatkan partisipasi pemilih di masa depan.

Hal ini penting agar pemilu yang digelar dapat menghasilkan pemimpin yang sah dan memiliki legitimasi kuat untuk menjalankan tugas-tugasnya.

“Mudah-mudahan ini menjadi bahan evaluasi penting untuk pemilu dan Pilkada di masa depan. Upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih harus dilakukan agar kita bisa menghasilkan pemimpin yang sah dan diterima oleh rakyat,” tutup Haykal.

Penurunan partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 menjadi perhatian serius, mengingat dampaknya terhadap kualitas demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk bersama-sama mencari solusi agar partisipasi pemilih dapat ditingkatkan pada Pemilu dan Pilkada mendatang.