Pintasan.co, Makassar – Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan oknum dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas), FS, kini memasuki tahap baru dengan penyelidikan yang tengah berlangsung di Polda Sulsel.

Koalisi Bunga Mawar untuk Kesetaraan dan Kesepadanan yang mendampingi korban menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual memiliki karakteristik yang berbeda dengan kasus pidana lainnya.

Koalisi yang terdiri dari Aflina Mustafainah, Ketua Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) Sulsel, dan Samsang Syamsir, Koordinator Forum Informasi dan Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop) Sulsel, menuntut agar keadilan segera diberikan kepada korban.

“Korban berharap agar pihak Polda Sulsel segera menetapkan pelaku sebagai tersangka, serta mendukung proses hukum agar keadilan dapat tercapai,” ujar mereka.

Koalisi juga menegaskan bahwa mediasi dalam kasus seperti ini tidak boleh dilakukan, mengingat tindakan pelaku melanggar hak-hak dasar korban yang dalam posisi sangat rentan.

Dinamika kekuasaan yang dimainkan oleh pelaku menunjukkan ketidaksetaraan yang menjadi akar masalah kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan.

Dalam rilisnya, Koalisi Bunga Mawar menjelaskan bahwa mediasi yang memaksa korban untuk berhadapan langsung dengan pelaku hanya akan meningkatkan tekanan psikologis dan trauma, yang semakin memperburuk kondisi korban.

Mereka menegaskan bahwa korban adalah subjek hukum yang berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan.

Sejak melaporkan kasus tersebut ke Polda Sulsel pada Desember 2024, korban telah menjalani berbagai pemeriksaan, termasuk tes psikologi dan psikiatri.

Penyidik Polda Sulsel juga telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan pelaku.

Korban kini menunggu perkembangan lebih lanjut dari penyelidikan, sambil melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan oleh penyidik.

Pemanggilan pelaku untuk diperiksa oleh Polda Sulsel memicu reaksi dari pihak pelaku yang berusaha meminta korban untuk mencabut laporannya, mengingat pelaku khawatir dengan sanksi pemecatan yang mungkin diterimanya.

“Pelaku bahkan menggunakan rekan sesama dosen untuk menyampaikan pesan ini kepada korban. Korban merasa bahwa masih ada pihak-pihak yang mendukung pelaku dan mencoba melakukan mediasi dalam kasus ini, padahal saat laporan pertama kali masuk ke Satgas PPKS Unhas, banyak pihak yang justru menyalahkan korban dan memberi dukungan kepada pelaku,” kata Koalisi.

Meskipun rektor Universitas Hasanuddin telah mengeluarkan sejumlah sanksi terhadap pelaku, termasuk pemberhentian tetap sebagai Ketua Gugus Penjaminan Mutu dan Peningkatan Reputasi di Fakultas Ilmu Budaya pada 8 November 2024, serta pemberhentian sementara sebagai dosen oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 12 November 2024, namun keputusan-keputusan tersebut masih dipertanyakan oleh publik.

Baca Juga :  Memanas! Aksi Mahasiswa Paksa Masuk Gedung DPRD Kota Malang

Koalisi menilai bahwa sanksi yang dikeluarkan tidak cukup tegas dan lebih dipengaruhi oleh tekanan dari mahasiswa yang merasa bahwa hukuman tersebut terlalu ringan.

“Pihak kampus, khususnya Unhas, dinilai tidak cukup serius dalam menangani kasus kekerasan seksual ini. Apakah sikap kampus memang berfokus pada pemberian rasa aman dan adil kepada korban sejak awal? Bahkan, usulan sanksi disiplin ASN Dosen yang diajukan oleh rektor kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masih terkesan tidak tegas, karena hanya sekadar permohonan untuk mempertimbangkan pemberhentian tetap,” ujar Koalisi.

Koalisi juga mencatat bahwa salah satu staf Satgas PPKS Unhas sempat mengarahkan korban untuk memikirkan karier pelaku, yang dianggap sebagai bentuk keberpihakan kepada pelaku.

Hal ini semakin memperlihatkan betapa beratnya perjuangan korban untuk mendapatkan hak-haknya atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan.

Koalisi menekankan bahwa jika penanganan kasus kekerasan seksual di Unhas tidak mengedepankan perspektif keberpihakan pada korban, maka hal ini dapat berisiko menciptakan situasi yang sama untuk kasus-kasus selanjutnya.

Oleh karena itu, sangat penting bagi anggota Satgas PPKS Unhas untuk memahami dan menerapkan perspektif yang berpihak pada korban, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.