Pintasan.com, Jakarta – Jumlah perusahaan yang mengalami kebangkrutan di Jepang pada tahun 2024 melampaui 10.000 kasus, menandai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir.

Berdasarkan laporan Tokyo Shoko Research yang dikutip oleh Kyodo News pada Rabu, 15 Januari 2025, peningkatan kebangkrutan ini disebabkan oleh kekurangan tenaga kerja dan kenaikan harga barang impor yang dipicu oleh melemahnya nilai yen.

Perusahaan kecil dan menengah paling terdampak, terutama setelah berakhirnya kebijakan penangguhan pajak khusus yang diberlakukan selama pandemi Covid-19, yang memperberat tekanan finansial mereka.

Total kebangkrutan meningkat 15,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai 10.006 kasus, dengan 10.004 di antaranya melibatkan usaha kecil dan menengah.

Pada musim panas 2024, nilai yen merosot ke posisi terendah dalam 37 tahun terhadap dolar AS, memicu lonjakan biaya impor.

Selain itu, krisis tenaga kerja yang memburuk akibat penuaan populasi dan aturan ketat terkait jam kerja semakin menekan sektor-sektor seperti konstruksi dan jasa.

Secara industri, sektor jasa mencatat jumlah kebangkrutan tertinggi, termasuk restoran, dengan 3.329 kasus atau naik 13,2 persen, melampaui angka 3.000 untuk pertama kalinya sejak 1990.

Sementara itu, sektor konstruksi, yang sangat terpengaruh oleh reformasi jam kerja, menyusul dengan 1.924 kebangkrutan, meningkat 13,6 persen.

Baca Juga :  Langkah Proaktif Wali Kota Banjar dalam Pemberantasan Narkoba: Tes Urine untuk ASN