Pintasan.co, Sleman – Sebelum kasus dugaan penganiayaan terhadap KDR (23), santri asal Kalimantan Selatan, masuk ke ranah hukum dan menjadi perhatian publik, pihak Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji sempat mengupayakan mediasi antara korban dan para terduga pelaku. Namun, usaha untuk mencapai perdamaian tidak berhasil.
Kuasa hukum Yayasan Ponpes Ora Aji, Adi Susanto, menjelaskan bahwa mediasi menemui hambatan karena besarnya tuntutan kompensasi dari keluarga korban, yang dinilai tidak memungkinkan untuk dipenuhi oleh para santri yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Mengenai berita yang sudah tersebar di media massa, kami dari pihak Yayasan sudah menempuh langkah-langkah komunikasi persuasif terkait dengan perkara yang sudah tersebar. Dari pihak Yayasan sudah melakukan mediasi dengan pihak korban, untuk mengambil langkah dan solusi terbaik dari perkara ini,” kata Ketua Yayasan Ponpes Ora Aji, Dwi Yudha Danu, Sabtu (31/5/2025).
Mediasi tersebut gagal. Proses hukum yang melibatkan santri dengan santri itu kini terus berjalan. Pihak korban telah melaporkan dugaan penganiayaan tersebut di Polsek Kalasan dengan nomor : STTLP/22/II/2025/SEK KLS/POLRESTA SLM/POLDA DIY tertanggal 16 Februari 2025.
Berdasarkan keterangan korban yang tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian, aksi kekerasan diduga dilakukan secara beramai-ramai oleh sekitar 13 santri.
Korban mengaku dipukul bersama-sama, disetrum, dan juga dianiaya menggunakan selang. Tindakan kekerasan itu diduga terjadi secara bergantian maupun bersamaan di waktu dan lokasi yang sama.
Kuasa Hukum Yayasan Ponpes Ora Aji, Adi Susanto, menyampaikan bahwa pihak yayasan sebenarnya telah berupaya memediasi kasus tersebut guna menciptakan perdamaian antar santri.
Namun, proses mediasi tidak berhasil karena tuntutan kompensasi dari pihak keluarga korban dinilai tidak sanggup dipenuhi oleh para santri terduga pelaku mengingat mayoritas berasal dari keluarga kurang mampu dan bahkan tidak dikenai biaya selama mondok.
“Nah berapa permintaannya (kompensasi), sejak di Polsek Kalasan itu angkanya Rp 2 miliar kalau mau berdamai. Jadi tidak mungkin santri yang mondok di Ora Aji ini menyiapkan dana sebanyak itu,” kata Adi.
“Karenanya maka Pondok memfasilitasi dengan cara tergerak secara moral untuk menanggung biaya pengobatan jika memang benar ada pengobatan. Yayasan menawarkan angkanya Rp 20 juta. Tapi upaya itu tidak diterima sehingga mediasi yang berulang kali menjadi gagal,” imbuh dia.
Saat dikonfirmasi, Tim Kuasa Hukum KDR, Heru Lestarianto, enggan memberikan banyak tanggapan terkait permintaan kompensasi dari pihak keluarga korban yang disebut-sebut mencapai Rp 2 miliar.
Menurutnya, pembahasan mengenai penyelesaian secara damai atau melalui pendekatan Restorative Justice tersebut sudah berlangsung sebelum dirinya secara resmi menerima kuasa hukum dari korban.
“Kalau tentang RJ atau damai itu sudah muncul sebelum memberikan kuasa ke kami,” katanya.
Dalam kasus ini, pihak Yayasan Pondok Pesantren Ora Aji membantah adanya tindakan penganiayaan terhadap korban.
Mereka menilai insiden tersebut merupakan bentuk reaksi spontan antar santri, menyusul pengakuan dari korban yang diduga terlibat dalam aksi vandalisme dan pencurian di lingkungan pondok.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum korban, Heru, menyatakan bahwa bantahan dari pihak yayasan adalah hak mereka. Namun, ia menekankan bahwa korban maupun para terduga pelaku sudah menjalani proses pemeriksaan resmi dan memberikan keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik Unit PPA Polresta Sleman. Oleh karena itu, menurutnya, fakta dan bukti bisa diklarifikasi langsung melalui pihak kepolisian.
“Kalau penyidik sekarang tidak melakukan penahan kepada para tersangka itu ada alasan subyektif, contohnya para tersangka mengajukan permohonan penahanan, sebagaimana pasal yang disangkakan patut dan layak untuk ditahan, karena ancaman pidanya lebih 5 tahun,” kata Heru.