Pintasan.co, Jakarta – Permasalahan lingkungan dan ketenagakerjaan yang mencuat di kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perizinan dan tata kelola pertambangan nasional, khususnya terkait pengelolaan smelter ungkap Manager Advokasi Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), M Wirdan Syaifullah dalam acara screening film dokumenter “Limbah Nikel dan Mimpi Energi Hijau” yang diselenggarakan oleh Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) dan Asia Research Centre, Universitas Indonesia (ARC UI).
Film tersebut menyoroti dampak nyata aktivitas smelter terhadap lingkungan sekitar dan kehidupan pekerja, yang sering kali luput dari perhatian publik dan pengambil kebijakan.
“Kasus lingkungan dan permasalahan ketenagakerjaan di IMIP menumbuhkan kesadaran kita bahwa pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap perizinan dan tata kelola pertambangan, khususnya pengelolaan smelter di IMIP. Evaluasi ini dilakukan untuk menutup gap (kesenjangan) permasalahan antara aturan tertulis dan realitas yang terjadi di lapangan,” tegas M Wirdan.
Ia menilai, persoalan di IMIP menunjukkan adanya ketimpangan antara semangat pembangunan industri berbasis hilirisasi nikel dan perlindungan lingkungan serta hak-hak pekerja.
Lebih lanjut M Wirdan menyatakan bahwa Pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan instrumen hukum yang sudah ada, tetapi juga harus memastikan implementasi dan pengawasan yang efektif di lapangan.
“Perizinan bukan sekadar formalitas administrasi. Itu adalah kontrak sosial yang seharusnya menjamin industri beroperasi tanpa merusak lingkungan dan tanpa mengorbankan pekerja,” tambah Wirdan.
Ia mendesak Kementerian terkait, baik di bidang energi, pertambangan, maupun ketenagakerjaan, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap praktik industri di IMIP, melibatkan masyarakat lokal, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
“Jangan sampai mimpi energi hijau hanya menjadi slogan kosong, sementara di baliknya tersimpan limbah, konflik, dan pelanggaran hak,” tutup Wirdan.