Pintasan.coDemokrasi Indonesia telah melalui perjalanan panjang sejak reformasi. Pemilu langsung menjadi simbol kemenangan kedaulatan rakyat sekaligus instrumen utama pergantian kekuasaan secara damai. Namun, setelah lebih dari dua dekade praktik demokrasi elektoral, muncul pertanyaan mendasar: apakah mekanisme yang ada masih relevan dan efektif menjawab tantangan zaman? Wacana “reset demokrasi” melalui pemilu lewat DPRD patut dibaca sebagai upaya pembaruan sistem, bukan pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri.

Demokrasi Indonesia: Antara Partisipasi dan Kualitas

Secara prosedural, demokrasi Indonesia tergolong berhasil. Partisipasi pemilih relatif tinggi dan pemilu berlangsung reguler. Namun, di balik angka-angka tersebut, kualitas demokrasi menghadapi persoalan serius. Biaya politik yang mahal, maraknya politik uang, polarisasi sosial, serta lemahnya akuntabilitas pasca-pemilu menjadi problem laten yang terus berulang.

Pemilu langsung, khususnya di tingkat daerah, sering kali menempatkan kontestasi politik pada logika popularitas ketimbang kapasitas. Kandidat berlomba membangun citra instan, sementara gagasan dan program jangka panjang tersisih. Dampaknya, demokrasi menjadi prosedural tetapi miskin substansi. Dalam konteks inilah, pemilu lewat DPRD dapat dilihat sebagai upaya menyeimbangkan kembali antara partisipasi dan kualitas kepemimpinan.

Demokrasi Perwakilan dan Rasionalitas Politik

Secara teoritis, pemilu melalui DPRD memiliki dasar kuat dalam konsep demokrasi perwakilan. Dalam pemikiran Edmund Burke, wakil rakyat tidak semata bertindak sebagai penyampai kehendak pemilih, tetapi sebagai pengambil keputusan rasional demi kepentingan publik. Rakyat telah memberikan mandat melalui pemilu legislatif; mandat itu kemudian dijalankan DPRD dalam memilih pemimpin eksekutif daerah.

Selain itu, teori demokrasi kompetitif Joseph Schumpeter memandang demokrasi sebagai mekanisme seleksi kepemimpinan melalui kompetisi yang terinstitusionalisasi. Fokusnya bukan pada seberapa langsung rakyat memilih, melainkan pada apakah sistem mampu menghasilkan pemimpin yang efektif dan bertanggung jawab. Pemilu lewat DPRD, dengan mekanisme seleksi berbasis rekam jejak, visi, dan kemampuan teknokratis, justru dapat memperkuat rasionalitas politik yang selama ini tergerus oleh populisme elektoral.

Baca Juga :  Permudah Pelayanan Masyarakat, Ibas-Puspa Programkan Kendaraan Gratis untuk Tokoh Agama dan Kepala Dusun

Dengan catatan penting, legitimasi teori ini hanya dapat bekerja jika DPRD berfungsi secara profesional, transparan, dan berintegritas. Artinya, reset demokrasi harus dibarengi penguatan kelembagaan, bukan sekadar perubahan prosedur.

Pemilu dan Generasi Z: Partisipasi dalam Makna Baru

Generasi Z sering disebut sebagai generasi paling politis sekaligus paling skeptis terhadap politik formal. Mereka kritis, digital-native, dan menuntut transparansi. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa tingginya partisipasi Gen Z di TPS tidak selalu berbanding lurus dengan rasa keterwakilan pasca-pemilu. Kekecewaan terhadap janji politik yang tak terpenuhi justru melahirkan apatisme baru.

Pemilu lewat DPRD membuka peluang redefinisi partisipasi politik Gen Z. Keterlibatan politik tidak lagi semata di bilik suara, tetapi melalui pengawasan publik, advokasi kebijakan, partisipasi deliberatif, dan kontrol digital terhadap wakil rakyat. Dengan proses pemilihan yang terbuka, disiarkan, dan dapat diakses publik, Gen Z justru memiliki ruang lebih luas untuk terlibat secara substantif, bukan simbolik.

Reset demokrasi bagi Gen Z bukan berarti menghilangkan suara mereka, melainkan memindahkan fokus dari ritual mencoblos ke keterlibatan berkelanjutan dalam proses pengambilan keputusan.

Me-Reset Demokrasi

Reset demokrasi dari TPS ke ruang paripurna bukanlah kemunduran, melainkan upaya pendewasaan sistem politik. Demokrasi yang sehat tidak hanya mengandalkan partisipasi langsung, tetapi juga kualitas representasi dan efektivitas pemerintahan. Dengan desain institusional yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, pemilu lewat DPRD dapat menjadi solusi realistis atas tantangan demokrasi Indonesia hari ini.

Pertanyaannya kini bukan apakah rakyat kehilangan kedaulatan, melainkan apakah negara berani memperbaiki cara demokrasi bekerja agar benar-benar menghasilkan kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan publik.

Penulis: Fahmi N Ismail (Direktur Democracy Institute)