Pintasan.co, Jakarta – Puluhan civitas akademika dan wali murid SMA Kristen Gloria 2 Surabaya mendatangi Mapolrestabes Surabaya pada Senin siang, 12 November 2024, untuk melaporkan insiden kekerasan yang menimpa seorang siswa.
Kekerasan tersebut terjadi ketika siswa tersebut dipaksa untuk sujud dan menirukan suara anjing oleh salah satu wali murid.
Peristiwa ini bermula pada 21 Oktober 2024, ketika terjadi keributan antar siswa usai pertandingan basket antara SMA Kristen Gloria 2 Surabaya dan SMA Cita Hati di sebuah mal.
Kronologi kasus SMA Kristen Gloria 2 Surabaya
Keributan tersebut dipicu oleh saling ejek antara siswa berinisial EN dari SMA Gloria dan EMS dari SMA Cita Hati, yang kemudian berlanjut di media sosial.
Ejekan yang tersebar lewat dunia maya membuat EMS merasa terhina dan melaporkannya kepada ayahnya, IV.
IV, yang tidak terima dengan tindakan tersebut, datang bersama sekelompok orang ke SMA Gloria 2 untuk mencari EN.
Mereka kemudian memaksa EN untuk meminta maaf dengan cara sujud sambil menirukan suara anjing di hadapan banyak orang.
Ketika EN mulai menuruti permintaan tersebut, seorang pria yang berdiri di sampingnya menghentikan aksi itu.
Melihat hal tersebut, pria berkemeja putih (IV) menjadi semakin marah, hingga situasi hampir berujung pada perkelahian.
Berdasarkan informasi yang beredar di media sosial, insiden ini terjadi karena orang tua siswa yang dikatakan seorang pengusaha Surabaya merasa tidak terima anaknya diejek. Sebagai bentuk hukuman, IV kemudian memaksa seorang siswa untuk menggonggong seperti anjing.
Meskipun insiden ini sempat menjadi viral dan menghebohkan jagat maya, akhirnya kasus tersebut diselesaikan secara damai.
Kabar ini disampaikan oleh akun X @JhonSitorus_18, yang mengunggah foto pria yang diduga pengusaha Surabaya tersebut sedang menandatangani surat kesepakatan beberapa jam setelah insiden menjadi viral.
Namun, insiden ini tetap menimbulkan kekhawatiran bagi pihak sekolah. Kepala SMA Kristen Gloria 2, Deborah Indriati, bersama kuasa hukum sekolah, Sudirman Sidanukke, menjelaskan bahwa kejadian tersebut mengganggu proses belajar-mengajar dan menimbulkan rasa cemas di kalangan orang tua siswa.
“Ada ratusan telepon yang masuk ke sekolah menanyakan apakah anak-anak mereka aman atau tidak. Kami perlu menyikapi masalah ini dengan serius agar kejadian serupa tidak terulang,” kata Sudirman saat berada di Mapolrestabes Surabaya.
Sudirman menegaskan bahwa laporan yang diajukan tidak berkaitan dengan masalah antara anak-anak, melainkan lebih kepada tindakan kekerasan yang dialami sekolah.
“Kami melaporkan pelaku IV atas ancaman kekerasan dan konfrontasi yang menyebabkan situasi sekolah tidak kondusif,” ungkapnya.
Dia juga menambahkan bahwa lebih dari satu orang terlibat dalam kejadian tersebut.
Laporan tersebut tercatat dalam surat tanda terima laporan/pengaduan masyarakat bernomor LPM/1121/X/2024/SPKT/POLRESTABES SURABAYA, yang diajukan oleh seorang guru berinisial LSP atas ancaman kekerasan yang terjadi di sekolah.
Sudirman berharap agar kasus ini dapat segera diselesaikan sehingga kegiatan belajar-mengajar di sekolah dapat kembali berjalan normal tanpa gangguan.
Meskipun kedua belah pihak sudah mencapai kesepakatan damai, kasus ini masih mendapat perhatian dari pemerhati anak yang menekankan pentingnya penyelesaian masalah ini pada tingkat anak-anak saja.
Mereka juga mendesak agar tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh wali murid tetap diproses secara hukum.