Pintasan.co, Jakarta – Dalam beberapa tahun terakhir, utang negara Indonesia telah menjadi topik yang semakin relevan dalam diskusi publik dan pengambilan kebijakan nasional.
Melihat pertumbuhan ekonomi yang terus berkembang di tengah tantangan global, pemerintah Indonesia mempertimbangkan strategi pembiayaan yang optimal untuk menjaga stabilitas fiskal, sekaligus mendukung pertumbuhan berkelanjutan.
Pada akhir November 2023, total utang pemerintah Indonesia tercatat mencapai Rp8.041,01 triliun, atau setara dengan 38,11 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan laporan APBN kita dari Kementerian Keuangan edisi Desember 2023, sebagian besar dari utang tersebut terdiri atas Surat Berharga Negara (SBN), yang mencapai Rp7.124,98 triliun atau 88,61 persen dari total utang, sementara sisanya sebesar Rp916,03 triliun berasal dari pinjaman.
Menariknya, sekitar 71,9 persen dari keseluruhan utang ini bersumber dari dalam negeri, dan 28,1 persen lainnya merupakan utang luar negeri. Meski mencetak rekor tertinggi dalam hal nominal, rasio utang terhadap PDB sebenarnya menunjukkan tren penurunan dibandingkan dengan 2021 dan 2022.
Perlu dicatat bahwa berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB adalah 60%.
Dengan demikian, walaupun nominal utang bertambah, rasio utang terhadap PDB Indonesia masih berada dalam batas yang dianggap aman, dan jauh dari ambang risiko yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Per 30 April 2024, total utang pemerintah tercatat mencapai Rp 8.338,43 triliun.
Sejak awal periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, jumlah utang tersebut mengalami kenaikan sekitar Rp 3.551,85 triliun, di mana posisi utang pada akhir 2019 tercatat sebesar Rp 4.786,58 triliun.
Pada 2019 nilai utang terus mengalami peningkatan, melonjak menjadi Rp 6.079,17 triliun pada 2020, atau naik sebesar 27,01%. Pada 2021, utang bertambah menjadi Rp 6.913,98 triliun, diikuti dengan kenaikan pada 2022 yang mencapai Rp 7.776,74 triliun, dan mencapai Rp 8.163,07 triliun pada 2023.
Sejak 2019 hingga April 2024, sebagian besar utang pemerintah berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan total penerbitan SBN yang mencapai Rp 7.333,11 triliun, sementara sisanya sebesar Rp 1.005,32 triliun berasal dari pinjaman.
Indonesia memanfaatkan utang untuk berbagai keperluan, termasuk pembangunan infrastruktur, pendanaan sektor pendidikan dan kesehatan, meningkatkan kemandirian finansial, mengurangi risiko, dan mengoptimalkan sumber daya domestik.
Utang luar negeri Indonesia bersumber dari sektor publik, yakni pemerintah dan bank sentral, serta sektor swasta. Negara pemberi pinjaman terbesar meliputi Singapura, Amerika Serikat, dan China.
Mayoritas pinjaman pemerintah berasal dari pinjaman luar negeri yang mencapai Rp 969,28 triliun, sedangkan pinjaman dalam negeri tercatat sebesar Rp 36,04 triliun.
Berdasarkan mata uang, utang dalam dolar AS mencapai Rp 1.713,26 triliun, dalam euro Rp 388,45 triliun, dalam yen Jepang Rp 270 triliun, dan mata uang lainnya sebesar Rp 30,92 triliun.
Sementara itu, bagian terbesar dari total utang, yaitu Rp 5.935,42 triliun, berbentuk mata uang rupiah, dari keseluruhan utang per 30 April 2024 yang mencapai Rp 8.338,43 triliun.
Meskipun total utang menunjukkan peningkatan, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) justru mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir. Namun demikian, rasio utang terhadap PDB ini masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2019.
Penurunan rasio ini terjadi seiring dengan meningkatnya nilai PDB Indonesia. Rasio utang terhadap PDB mulai menurun menjadi 39,7% pada tahun 2022, seiring dengan pertumbuhan PDB yang mencapai Rp 19.588 triliun.
Tren ini berlanjut pada tahun 2023 ketika rasio utang berkurang lagi menjadi 39,2% berkat PDB yang naik menjadi Rp 20.892 triliun. Per 30 April 2024, rasio tersebut turun lebih jauh menjadi 36,5% dengan PDB yang tercatat sebesar Rp 22.830 triliun.
Pemerintah berencana mengelola utang dengan lebih hati-hati pada 2025, mengingat tingginya suku bunga global yang bisa berdampak pada biaya pinjaman.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, langkah ini terlihat dari proyeksi defisit APBN yang diperkirakan rendah, antara 2,45-2,82% dari PDB, dengan defisit keseimbangan primer sekitar 0,3-0,61% dari PDB.
Pada rancangan APBN 2025 di awal pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, rasio utang juga direncanakan sedikit meningkat, mencapai 37,98-38,71%.
Penulis: Umi Hanifah (Content Writer Pintasan.co)