Pintasan.co, Jakarta – Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA melaporkan bahwa usulan pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mendapat reaksi negatif dari mayoritas masyarakat.
Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 76,3 persen publik menanggapi ide tersebut dengan sentimen negatif.
“Kami mengamati hasilnya, dan ternyata 76,3 persen responden lebih cenderung menanggapi isu pemilihan kepala daerah oleh DPRD secara negatif,” ujar Peneliti LSI Denny JA, Adjie Al Farabi, dalam siaran YouTube LSI Denny JA pada Rabu (15/1/2025).
Sementara itu, hanya 23,7 persen dari publik yang memberikan respons positif terhadap gagasan ini.
Survei ini dilakukan dengan menganalisis percakapan di media sosial dan digital, dengan total 1.898 percakapan yang membahas isu ini, mayoritas terjadi di media berita online.
“Dari hasil riset kami, sebagian besar percakapan terjadi di media online, sekitar 1.240 percakapan membahas masalah ini. Hasilnya menunjukkan bahwa respons terhadap wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih banyak negatif,” lanjut Adjie.
Selain itu, survei ini juga mencatat bahwa banyak masyarakat berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah seharusnya mengikuti sistem Pemilihan Presiden (Pilpres), tanpa adanya ambang batas (threshold) 20 persen.
Adjie menjelaskan ada enam alasan utama yang mendasari pandangan ini.
Menurut publik, menghapus ambang batas dalam pemilihan kepala daerah dapat memperkuat demokrasi lokal, mengurangi praktik politik transaksional, dan memberi peluang bagi munculnya pemimpin baru.
“Alasan utamanya antara lain adalah untuk memperkuat demokrasi lokal. Dengan menghapuskan ambang batas, setiap partai politik yang sah bisa mencalonkan calon kepala daerah, yang memastikan aspirasi lokal terwakili oleh calon-calon yang diusung oleh partai-partai tersebut,” jelas Adjie.
Sebagai catatan, survei ini menggunakan analisis komputasional untuk mendeteksi topik dan sentimen masyarakat berdasarkan kata kunci tertentu.
Data dikumpulkan melalui berbagai platform media sosial seperti X, TikTok, Facebook, serta dari media online yang mencakup berita, video, blog, forum diskusi, dan podcast. Periode analisis berlangsung dari 2 hingga 7 Januari 2025.