Pintasan.co, Jakarta – Pemerintah Tiongkok kembali menegaskan sikap penolakannya terhadap kemungkinan Jepang memiliki senjata nuklir.
Penegasan ini disampaikan menyusul pernyataan sejumlah pejabat Jepang yang dinilai membuka peluang untuk meninjau ulang kebijakan non-nuklir yang selama ini dianut Tokyo.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Lin Jian, menyatakan bahwa Beijing bersama negara-negara pencinta perdamaian lainnya mencermati dengan serius arah kebijakan Jepang terkait isu nuklir.
Ia menekankan bahwa Tiongkok dengan tegas menentang kecenderungan berbahaya tersebut dan mendesak Jepang untuk tetap mematuhi hukum internasional serta konstitusinya.
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Jepang menerapkan pembatasan ketat dalam aktivitas militernya.
Negara tersebut juga memegang prinsip Tiga Kebijakan Non-Nuklir sejak 1967, yakni tidak memiliki, tidak memproduksi, dan tidak mengizinkan keberadaan senjata nuklir di wilayah Jepang.
Dikutip dari Antara, Selasa (23/12/2025), reaksi keras Beijing muncul setelah Menteri Pertahanan Jepang Shinjiro Koizumi menyatakan perlunya mempertimbangkan berbagai opsi kebijakan pertahanan, termasuk kemungkinan meninjau ulang prinsip non-nuklir, demi melindungi keselamatan masyarakat Jepang.
Wacana tersebut diperkuat oleh pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada awal November 2025, yang menilai potensi penggunaan kekuatan militer Tiongkok terhadap Taiwan dapat menciptakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup Jepang.
Pernyataan itu dipandang sebagai sinyal bahwa Tokyo dapat mempertimbangkan peran militer yang lebih aktif, termasuk dukungan terhadap Taiwan apabila terjadi konflik atau blokade.
Menanggapi hal itu, pemerintah Tiongkok menilai langkah Jepang semakin bersifat provokatif.
Lin Jian meminta Tokyo menghentikan segala upaya yang mengarah pada kepemilikan senjata nuklir dan tidak menantang tatanan internasional pascaperang.
Ia juga menegaskan bahwa Jepang tidak boleh menempuh jalan yang dianggap keliru dalam kebijakan pertahanannya.
Menurut Lin, berdasarkan hukum internasional, Jepang seharusnya tetap dalam posisi dilucuti senjatanya dan tidak mempertahankan kapasitas industri yang memungkinkan terjadinya persenjataan ulang untuk tujuan perang.
Sebagai negara non-pemilik senjata nuklir yang terikat pada Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), Jepang berkewajiban untuk tidak menerima, memproduksi, memperoleh, maupun mentransfer senjata nuklir.
Upaya untuk memiliki senjata tersebut dinilai berpotensi merusak efektivitas NPT, mengganggu rezim non-proliferasi global, serta mengancam stabilitas dan perdamaian dunia.
Tiongkok juga menyoroti peran kelompok sayap kanan di Jepang yang dinilai semakin terbuka mendorong penguatan militer.
Beijing menilai Jepang telah lama menyimpan plutonium dalam jumlah besar melebihi kebutuhan sipil, yang secara teknis memberikan kemampuan untuk mengembangkan senjata nuklir.
Lebih lanjut, Lin Jian menyebut pernyataan pejabat tinggi Jepang mencerminkan kecenderungan menuju remiliterisasi dan persenjataan ulang.
Tiongkok mengaitkan hal ini dengan isu Taiwan dan menilai kegagalan Jepang merefleksikan sejarah agresinya dapat memicu kembali instabilitas global jika dibiarkan mengembangkan senjata ofensif.
Sebagai respons, Beijing telah mengambil sejumlah langkah balasan terhadap Tokyo, antara lain kembali menangguhkan impor produk laut Jepang, membatasi interaksi pejabat tinggi, mengimbau warga Tiongkok agar tidak bepergian atau menempuh pendidikan di Jepang, serta menghentikan peredaran film Jepang.
Tiongkok juga memperingatkan akan mengambil tindakan tegas jika Jepang terlibat secara militer dalam isu Taiwan.
Ketegangan kedua negara turut meningkat setelah dilaporkan dua jet tempur J-15 Angkatan Laut Tiongkok mengunci radar ke pesawat tempur F-15 milik Pasukan Bela Diri Udara Jepang di wilayah perairan internasional dekat Okinawa pada awal Desember. Insiden tersebut memicu protes resmi dari pemerintah Jepang.
