Pintasan.co, Yogyakarta – Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali menyelenggarakan tradisi labuhan di Gunung Merapi, tepatnya di Sri Manganti, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Prosesi labuhan ini digelar untuk memperingati kenaikan tahta Sri Sultan Hamengku Buwono X dan berlangsung dengan penuh khidmat, dihadiri oleh para abdi dalem serta sejumlah masyarakat pendukung yang rutin mengikuti tradisi tahunan tersebut.

“Labuhan Merapi itu adalah tugas dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang mempunyai hajad adalah Keraton. Tujuannya untuk memohon kepada Tuhan yang Esa, semoga diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka,” kata Juru Kunci Merapi, Mas Wedana Surakso Hargo Asihono, atau sering disapa Mbah Asih.

Upacara labuhan di Gunung Merapi berlangsung selama dua hari.

Rangkaian prosesi dimulai pada Kamis (30/1/2025) dengan serah terima Ubo Rampe dari Keraton Yogyakarta di Kapanewon Cangkringan.

Kemudian, dilanjutkan dengan kirab gunungan, Sekar Pudyastuti, wilujengan hajad dalem, dan pertunjukan wayang kulit.

Upacara labuhan sendiri dilaksanakan pada Jumat pagi. Ubo rampe dari Keraton Yogyakarta dibawa oleh Mbah Asih bersama puluhan abdi dalem dengan berjalan kaki dari pendopo Petilasan Mbah Maridjan di Kinahrejo menuju Sri Manganti, yang berjarak sekitar 2,5 kilometer.

Prosesi labuhan ini menarik perhatian banyak masyarakat, yang sudah hadir sejak pagi hari. Mbah Asih menjelaskan bahwa upacara labuhan Merapi, yang merupakan bagian dari hajad Keraton Ngayogyakarta, bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Jika Gunung Merapi, yang terletak di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, mengalami erupsi, Mbah Asih berharap agar seluruh warga yang tinggal di sekitar lereng gunung tetap selamat dan aman.

Uborampe yang dibawa dalam prosesi labuhan kali ini antara lain Nyamping Cangkring, Semekan Gadhung, Semekan Gadhung Mlati, Semekan Banguntulak, Kampuh Poleng Ciut, Dhestar Daramuluk, hingga Paningset Udaraga.

Baca Juga :  Lengser dari KPK, Nawawi Pomolango Jadi Ketua PT Banjarmasin

Mbah Asih menjelaskan bahwa uborampe tersebut sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tanpa perubahan. Filosofi dan makna dari uborampe itu pun beragam.

“Misalnya Banguntulak, ini maknanya untuk menolak bebaya atau malapetaka,” ujar dia. 

Seorang Abdi Dalem, Surakso Iman, menjelaskan bahwa dalam upacara labuhan Merapi, turut dibawa Sekul Kawilujengan yang digunakan dalam prosesi kenduri.

Pria yang telah puluhan kali mengikuti tradisi ini berharap, pelaksanaan Labuhan Merapi dapat membawa kebaikan bagi semua pihak.

“Harapannya Indonesia damai, pemimpinnya jujur dan alamnya bersahabat,” harap dia.