Pintasan.co, Jakarta – Demonstrasi yang mengguncang Kabupaten Bone beberapa waktu lalu bukan sekadar kerumunan di jalan, melainkan jeritan kolektif rakyat yang terpaksa keluar dari dada mereka. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 300% adalah kebijakan yang terasa begitu kejam, hadir di saat masyarakat masih berjuang menyambung hidup di tengah keterbatasan.
Angka itu tidak hanya membebani, tetapi juga merampas rasa keadilan yang menjadi pegangan hidup orang banyak. Menurut pikiran hemat saya, kebijakan ini lahir dari ruang kekuasaan yang kehilangan empati, dari meja birokrasi yang terlalu jauh dari tanah yang diinjak rakyatnya sendiri.
Namun, luka itu semakin dalam bukan semata karena angka, melainkan karena ketidakhadiran seorang pemimpin. Saat ribuan warga mendatangi kantor bupati dengan suara serak dan langkah berdebu, mereka tidak menemukan telinga yang mau mendengar. Yang mereka hadapi hanyalah pagar besi dan barisan aparat.
Pemerintah lebih memilih bersembunyi di balik tembok kekuasaan daripada membuka pintu dialog dengan rakyatnya. Dalam tradisi Bugis, kita diajarkan sipakatau saling memanusiakan tetapi yang terjadi justru rakyat diperlakukan sekadar kerumunan yang harus dibatasi, bukan manusia yang suaranya perlu dihargai.
Penundaan kenaikan pajak yang diumumkan setelah ricuh pun tak ubahnya selimut tipis di malam yang sangat dingin. Ia bukan jawaban, melainkan penundaan rasa sakit. Rakyat Bone tidak menolak waktu, mereka menolak ketidakadilan. Dalam nilai sipakalebbi, kita diajarkan untuk saling memuliakan, tetapi apa arti kemuliaan jika rakyat hanya diberi janji kosong? Apa arti penghormatan bila yang hadir hanyalah ketakutan bahwa rakyat akan terus marah? Penundaan hanyalah abu yang menutupi bara, dan sekali angin kekecewaan berhembus, api itu akan menyala lebih besar.
Bagi saya, demonstrasi ini adalah cermin retak dari relasi rakyat dan pemerintah di Bone. Cermin yang memperlihatkan bahwa sipakainge saling mengingatkan sudah lama hilang dari ruang kekuasaan. Rakyat yang turun ke jalan sesungguhnya sedang melaksanakan nilai itu: mengingatkan pemimpinnya yang khilaf.
Tetapi alih-alih menerima teguran dengan rendah hati, pemerintah justru menjawab dengan jarak, dengan pagar, dengan ketidakhadiran. Padahal, dalam kearifan Bugis, teguran bukanlah ancaman; ia adalah jalan untuk memperbaiki diri, agar tidak semakin jauh dari prinsip keadilan dan keseimbangan.
Bone hari ini sedang berada di persimpangan: apakah akan kembali pada nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur, atau terus berjalan dalam jalan elitis yang hanya menambah jurang antara rakyat dan pemimpinnya. Jika pemerintah benar-benar menghayati sipakatau, maka ia harus hadir di tengah rakyat, memanusiakan aspirasi mereka.
Jika benar memahami sipakalebbi, maka ia harus memuliakan suara rakyat dengan mencabut kebijakan zalim itu. Dan jika sungguh mengamalkan sipakainge, maka ia harus berani mengakui kesalahan, mendengar teguran rakyat, lalu memperbaiki arah.
Sebab jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa pada suatu masa, rakyat Bone pernah kehilangan pemimpinnya bukan karena tak ada yang menjabat, melainkan karena tak ada yang berani berdiri bersama mereka. Dan saat itu, nilai-nilai Bugis yang seharusnya menjadi cahaya justru padam di tengah gelapnya kekuasaan.
Penulis : Andi Yuni Elfira (Mahasiswa Pascasarja Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina)