Pintasan.co, Jakarta – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, diketahui menjalankan kebijakan Timur Tengah yang mulai menyimpang dari arah kebijakan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, terutama terkait Iran dan operasi militer Israel di Gaza.

Hal ini diungkapkan oleh Frank Lowenstein, mantan utusan AS untuk Timur Tengah di era pemerintahan Obama.

Dalam sebuah diskusi virtual yang diadakan oleh kelompok advokasi J Street, Lowenstein menyampaikan bahwa Israel awalnya mengira akan memperoleh dukungan penuh dari Trump. Namun, ternyata Trump memiliki agenda sendiri yang tak selalu sejalan dengan harapan Israel.

Meski sebelumnya dikenal sebagai pendukung setia Israel, termasuk dalam pencabutan pembatasan senjata dan pembelaan terhadap operasi militer di Gaza, Trump kini tampak mengambil pendekatan yang lebih moderat dan diplomatis, termasuk terhadap Iran.

Netanyahu menilai tekanan maksimum yang kini dirasakan Iran akibat sanksi AS membuka peluang emas untuk menyerang instalasi nuklir Iran.

Namun Trump, sebaliknya, justru memberi isyarat keinginan untuk membuka jalur negosiasi baru dengan Teheran. Ketika ditanya soal kemungkinan kompromi dalam pengayaan uranium untuk kepentingan sipil, Trump menjawab bahwa belum ada keputusan final.

Sikap ini membuat para pejabat Israel gusar, karena mereka menentang segala bentuk kesepakatan yang memungkinkan Iran mempertahankan infrastruktur nuklirnya.

Pemerintah Israel secara terbuka menuntut pembongkaran total program nuklir Iran, namun pemerintahan Trump terus menjajaki opsi kesepakatan diplomatik.

Ketegangan semakin meningkat setelah Trump memutuskan untuk menghentikan serangan terhadap kelompok Houthi yang didukung Iran di Yaman, hanya beberapa hari setelah kelompok itu meluncurkan rudal ke dekat Bandara Ben Gurion. Keputusan ini mengejutkan Israel, yang justru mengharapkan dukungan militer AS.

Netanyahu dikabarkan berharap mendapatkan jaminan dukungan udara jika Israel memutuskan menyerang Iran.

Baca Juga :  Tiktok Akan Resmi Diblokir di Amerika Serikat

Namun, Trump malah mengumumkan rencana pembicaraan langsung dengan Iran. Hal ini dianggap Netanyahu sebagai langkah sia-sia yang dapat mengorbankan momentum strategis, mengingat sistem pertahanan udara Iran sedang dalam kondisi lemah akibat serangan Israel sebelumnya.

Pada saat yang sama, Trump juga menyampaikan kritik pribadi terhadap rencana Israel untuk memperluas serangan di Gaza, dengan menilai hal itu hanya akan memperburuk proses pemulihan wilayah tersebut.

Sejak eskalasi konflik pada Oktober 2023, lebih dari 52.800 warga Palestina—mayoritas perempuan dan anak-anak—tewas akibat serangan Israel di Gaza.

Mahkamah Pidana Internasional pun telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Meski jelas muncul ketegangan, para analis meyakini Netanyahu tidak akan secara terbuka mengkritik Trump, mengingat besarnya dukungan dari basis politik sayap kanan Israel terhadap mantan presiden AS tersebut.

Trump sendiri dijadwalkan mengunjungi Timur Tengah dalam waktu dekat, termasuk ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab—namun tidak memasukkan Israel dalam agendanya.