Pintasan.co, Jakarta – Dalam satu dekade terakhir, utang pemerintah Indonesia terus meningkat tajam. Selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), jumlah utang bertambah hampir Rp 6.000 triliun, menjadikan beban keuangan negara semakin berat.
Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Perekonomian, Edy Priyono, mengungkapkan bahwa kenaikan utang ini disebabkan oleh defisit anggaran yang terjadi akibat pengeluaran negara lebih besar dibandingkan pendapatan.
Tantangan besar ini akan menjadi pekerjaan rumah penting bagi pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.
Dalam seminar “Evaluasi Satu Dekade Pemerintahan Jokowi” yang berlangsung pada Kamis (3/10/2024), Edy mengungkapkan bahwa rata-rata pertumbuhan utang pemerintah dari 2014 hingga 2023 mencapai 13,8% per tahun.
Pada awal masa kepemimpinan Jokowi, utang pemerintah berada di angka Rp 2.605 triliun. Namun, pada akhir tahun 2023, utang ini telah meningkat pesat hingga mencapai Rp 8.445 triliun.
Masa pandemi turut berkontribusi pada lonjakan utang, karena pemerintah harus mengalokasikan anggaran besar untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Edy menjelaskan bahwa meskipun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yakni 60%, beban pembayaran bunga utang yang terus meningkat mempengaruhi kemampuan fiskal pemerintah. Porsi pembayaran bunga utang terhadap total belanja negara melonjak dari 11% pada 2014 menjadi 20% pada 2023.
Menurut Edy, kondisi ini mempersempit ruang gerak pemerintah dalam hal pengalokasian anggaran untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
“Utang kita semakin besar, dan ini memang jadi tantangan serius ke depan. Saat ini, sekitar 20% dari belanja negara kita digunakan untuk membayar bunga utang. Kita harus hadapi kenyataan bahwa utang ini harus ditangani dengan lebih baik,” ungkap Edy.
Lebih lanjut, Edy menyoroti kondisi keseimbangan primer, yakni perbedaan antara pendapatan negara dengan pengeluaran (di luar pembayaran bunga utang), yang selalu berada dalam posisi negatif selama satu dekade terakhir.
Kondisi ini berarti bahwa untuk membayar cicilan utang yang jatuh tempo, pemerintah harus kembali mengambil utang baru, sehingga memperburuk beban utang di masa depan.
“Keseimbangan primer kita negatif selama 2014-2023, artinya untuk membayar cicilan utang yang ada, kita harus berutang lagi. Ini jelas menambah kompleksitas masalah utang negara,” katanya.
Meski demikian, Edy menambahkan bahwa pemerintah masih memiliki peluang untuk memperbaiki situasi ini.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan mengurangi defisit anggaran. Hal ini bisa dicapai melalui dua cara: meningkatkan pendapatan negara, seperti dengan memperbaiki sistem perpajakan, atau dengan mengurangi belanja negara yang tidak terlalu mendesak.
Namun, langkah ini tentu memerlukan strategi yang matang dan dukungan dari semua pihak.
“Jika kita ingin memperbaiki posisi fiskal, defisit anggaran harus dikurangi. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan penerimaan negara, misalnya dari pajak, yang tentunya akan membebani kita semua, atau dengan cara mengurangi belanja negara,” jelasnya.
Tantangan besar ini kini ada di hadapan pemerintahan yang akan datang, yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.
Dengan kondisi utang yang terus membesar, pemerintah baru perlu mengambil langkah-langkah strategis dan inovatif untuk mengendalikan defisit anggaran dan mencegah utang negara semakin membengkak.