Pintasan.co, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak yang sangat penting, terutama dalam bentuk kritik yang konstruktif.
Kritik semacam itu, meskipun mengandung ketidaksetujuan terhadap suatu tindakan atau kebijakan, merupakan bagian dari pengawasan publik yang harus dijamin keberadaannya.
Menurut pertimbangan MK, Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya dimaksudkan sebagai sarana koreksi, pengawasan, dan saran atas kebijakan atau tindakan yang menyangkut kepentingan publik.
Oleh karena itu, jika kritik tersebut disampaikan secara konstruktif terhadap kebijakan pemerintah, hal itu seharusnya dilindungi sebagai bagian dari mekanisme kontrol sosial dalam negara hukum yang demokratis.
“Jika kebebasan berekspresi dibatasi secara tidak proporsional, maka fungsi kontrol masyarakat terhadap kekuasaan justru akan tergerus. Ini berpotensi memunculkan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power dalam praktik pemerintahan,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan Mahkamah, sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (1/5).
Lebih lanjut, Mahkamah menyampaikan bahwa Pasal 27A, yang dikaitkan dengan Pasal 45 ayat (5) UU ITE, termasuk dalam kategori delik aduan.
Artinya, proses hukum atas dugaan pencemaran nama baik hanya dapat dilakukan jika ada laporan atau pengaduan langsung dari individu yang merasa dirugikan.
Untuk mencegah penyalahgunaan hukum oleh aparat, MK secara tegas menyatakan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A hanya merujuk pada individu, bukan lembaga, institusi, profesi, korporasi, atau kelompok masyarakat tertentu.
Dengan demikian, apabila subjek yang diduga dicemarkan bukan perseorangan melainkan organisasi atau badan hukum, maka pasal tersebut tidak berlaku dan tidak dapat digunakan untuk menjerat pelaku secara pidana.
Putusan ini muncul dari permohonan uji materi yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan dari Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali).
Ia pernah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jepara karena video kritiknya terkait kondisi tambak di Karimunjawa, namun kemudian dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Semarang.