Pintasan.co, Jakarta – Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan atau yang akrab disapa Zulhas, mengungkapkan pandangannya mengenai pemerintahan yang akan dijalankan Presiden terpilih, Prabowo Subianto.

Dalam keterangannya, Zulhas menyebutkan bahwa Prabowo kemungkinan besar akan menerapkan manajemen birokrasi yang mirip dengan sistem pemerintahan pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

“Saya kira nanti Pak Prabowo mungkin akan lebih mirip dengan gaya manajemen birokrasi seperti Orde Baru, yang fungsional. Kalau manajemen birokrasi fungsional itu bisa lebih tertib sebenarnya,” ujar Zulhas saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan di Jakarta Pusat pada Senin, 23 September 2024.

Zulhas, yang juga menjabat sebagai Menteri Perdagangan, menilai bahwa gaya kepemimpinan fungsional yang diterapkan pada masa Orde Baru memiliki kelebihan dalam hal ketertiban dan efisiensi birokrasi.

Era Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998 di bawah Presiden Soeharto dikenal dengan karakteristik pemerintahan yang sentralistik dan didominasi oleh militer.

Stabilitas politik dan keamanan menjadi ciri khas utama dari pemerintahan Orde Baru, meskipun di sisi lain, era ini juga sering dikritik karena cenderung otoriter.

Kepemimpinan Soeharto yang sangat terpusat pada figur kepala negara membuat birokrasi pada masa itu bergerak dengan pengawasan ketat dari pusat.

Zulhas mengisyaratkan bahwa pemerintahan Prabowo akan membawa kembali beberapa elemen dari manajemen birokrasi Orde Baru yang dinilainya lebih disiplin dan efektif dalam menjaga ketertiban administrasi negara.

Namun, pernyataan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana reformasi birokrasi yang sudah berjalan sejak masa Reformasi akan berinteraksi dengan gaya pemerintahan yang diperkirakan lebih sentralistik.

Menurut penelitian yang dikutip dari jurnal ilmiah Dimensi, yang berjudul Kepemimpinan dan Masa Depan Reformasi Birokrasi di Indonesia karya Novy Setia Yunas, salah satu karakteristik utama dari birokrasi pada masa Orde Baru adalah kuatnya penetrasi negara melalui birokrasi ke dalam kehidupan masyarakat.

Pemerintah melalui aparat sipil dan militer berperan aktif dalam mengontrol dan mengawasi segala aktivitas masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Birokrasi sipil pada era tersebut bekerja berdampingan dengan birokrasi militer untuk memastikan stabilitas nasional.

Baca Juga :  Pemerintah Turunkan Harga Tiket Pesawat Domestik 10% Selama Nataru 2025 untuk Dukung Pariwisata

Pengawasan ini dilakukan mulai dari tingkat pusat melalui lembaga seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) hingga ke tingkat desa melalui struktur militer seperti Komando Rayon Militer (Koramil) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa).

Sinergi antara kedua birokrasi ini dinilai penting untuk menjaga keamanan dan keteraturan, namun di sisi lain sering kali dianggap mengekang kebebasan individu dan pluralitas dalam masyarakat.

Selain itu, penelitian Novy Setia Yunas juga menyoroti bahwa birokrasi pada masa Orde Baru menggunakan strategi politik korporatisme negara.

Sistem ini bertujuan untuk memusatkan kepentingan di bawah kendali pemerintah, di mana organisasi-organisasi masyarakat dibentuk dan diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada persaingan di antara mereka.

Organisasi-organisasi seperti Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), hingga Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menjadi instrumen pemerintah untuk mobilisasi massa dan menjaga kontrol terhadap masyarakat.

Dalam konteks ini, Zulhas menilai bahwa sistem birokrasi fungsional yang pernah diterapkan di masa Orde Baru memiliki keunggulan dalam hal stabilitas dan efisiensi, meskipun diakui bahwa pemerintahan pada masa itu cenderung otoriter.

Ia juga menyebut bahwa dengan birokrasi yang fungsional, pemerintahan Prabowo bisa berjalan lebih tertib dan terorganisir, terutama dalam menjalankan program-program pembangunan.

Namun, pernyataan Zulhas ini tentu memunculkan berbagai reaksi dari kalangan masyarakat dan pengamat politik. Banyak yang mempertanyakan apakah penerapan kembali gaya manajemen ala Orde Baru ini sesuai dengan semangat demokrasi dan reformasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.

Kekhawatiran akan kembalinya sentralisasi kekuasaan dan pengendalian politik yang ketat menjadi perhatian serius, terutama jika strategi politik korporatisme negara kembali diterapkan.

Pemerintahan Prabowo Subianto yang akan datang diharapkan mampu menemukan keseimbangan antara ketertiban birokrasi dan kebebasan demokrasi, terutama dalam menjaga agar birokrasi tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol, tetapi juga sebagai instrumen untuk pelayanan publik yang lebih efektif.

Bagaimana kebijakan birokrasi yang diadopsi nanti akan menentukan arah pemerintahan lima tahun mendatang, terutama dalam hal hubungan antara pusat dan daerah, serta interaksi antara pemerintah dan masyarakat luas.