Pintasan.co, Jakarta – Uni Eropa (UE) memperpanjang sanksi terhadap Rusia sekaligus menyetujui rencana pencabutan sebagian sanksi terhadap Suriah.

Dalam pertemuan para menteri luar negeri UE pada Senin (27/01), mereka juga menegaskan perlunya pendekatan yang lebih bersatu dalam menghadapi kebijakan Presiden AS Donald Trump, yang dianggap transaksional serta menggunakan strategi “divide et impera” atau politik pecah belah untuk kepentingan tertentu.

Diplomat utama UE, Kaja Kallas, menekankan bahwa di tengah kebijakan luar negeri AS yang berbasis transaksi, Eropa harus tetap solid. “Lebih kuat ketika kita bersatu,” ujarnya kepada wartawan.

Zsuzsanna Vegh dari German Marshall Fund of the United States menilai bahwa Trump ingin melemahkan UE dengan menjalin hubungan bilateral langsung dengan negara-negara anggotanya.

“Jika para pemimpin negara Eropa bersaing untuk mendapatkan perhatian dari Pemerintahan Trump, hal itu akan berdampak negatif pada persatuan UE,” ujarnya kepada DW.

Ia juga memperingatkan bahwa dukungan Trump terhadap kelompok yang skeptis terhadap integrasi Eropa bisa semakin melemahkan kesatuan blok tersebut.

Walaupun kebijakan luar negeri Trump dalam waktu dekat masih belum jelas dan kekhawatiran akan perang dagang meningkat, ada harapan bahwa ia tidak akan bersikap lunak terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin.

Di balik pertemuan tertutup, para diplomat Eropa merasa lega dengan ancaman Trump untuk meningkatkan tarif dan sanksi lebih berat terhadap Rusia jika negara itu tidak menghentikan perang di Kyiv.

Kallas menyatakan bahwa Trump telah memberi tekanan lebih besar terhadap Rusia, sementara tanggung jawab utama untuk mengakhiri perang tetap berada di tangan Putin.

UE Perpanjang Sanksi terhadap Rusia, Hungaria Sempat Mengancam Veto

UE kembali memperpanjang sanksi terhadap Rusia, membatasi perdagangan, serta membekukan miliaran dolar aset negara tersebut.

“Eropa menepati janji,” tulis Kallas di platform X saat mengonfirmasi bahwa sanksi akan diperpanjang setiap enam bulan.

“Ini akan terus mengurangi pendapatan Moskow dalam membiayai perangnya,” tambahnya. “Rusia perlu membayar kerusakan yang mereka timbulkan,”

Namun, langkah ini mendapat tentangan dari Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban, yang mengancam akan memveto perpanjangan sanksi jika UE tidak memastikan Ukraina tetap mengizinkan aliran gas Rusia melalui jalur pipanya ke Hungaria.

Ukraina sebelumnya memutuskan untuk tidak memperpanjang perjanjian yang mengizinkan pengiriman gas Rusia melalui wilayahnya, yang mempersulit situasi geopolitik di kawasan tersebut. Orban menilai keputusan ini telah merugikan Hungaria hingga miliaran dolar.

“Jika Ukraina menginginkan bantuan, misalnya untuk memberi sanksi kepada Rusia, maka biarkan mereka membuka kembali jaringan pipa gas dan biarkan mereka mengizinkan negara-negara Eropa Tengah, termasuk Hungaria, untuk mengimpor gas yang kami butuhkan melalui Ukraina,” kata Orban.

Namun, pada akhirnya, Orban memilih mengikuti keputusan UE.

Baca Juga :  Trump Akui Rusia Serang Ukraina, Tuding Zelensky dan Biden Gagal Cegah Perang

Apa yang Membuat Orban Mengalah?

Menurut laporan Reuters, Komisi Eropa menyatakan kesiapannya untuk berdiskusi dengan Ukraina mengenai pasokan energi ke Eropa melalui jaringan pipa gas Ukraina, sesuai dengan kewajiban internasional negara tersebut.

Komisi juga berjanji akan melibatkan Hungaria dan Slovakia dalam pembahasan tersebut.

Namun, pernyataan ini tidak menyebutkan apakah UE akan meminta Ukraina untuk melanjutkan aliran gas Rusia, sesuatu yang secara tegas ditolak oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

“Kami tidak akan membiarkan Rusia untung,” tegas Zelenskyy dalam pernyataan pekan lalu.

Ia justru mengusulkan agar Azerbaijan menjadi alternatif pemasok gas bagi negara-negara Eropa yang membutuhkan.

Para analis menilai, setelah Trump secara tak terduga menegur Rusia dengan menyebut perang mereka sebagai “perang konyol” dan mendesak Moskow untuk “mencapai kesepakatan,” posisi Orban menjadi semakin sulit.

Menurut Vegh, sikap Orban yang akhirnya menerima perpanjangan sanksi menunjukkan bahwa ia mempertimbangkan dinamika hubungan AS.

“Posisi Trump mungkin mengejutkan bagi Hungaria,” ujarnya. Orban pun kini harus lebih berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan Moskow dan Washington.

UE Longgarkan Sanksi terhadap Suriah

Di sisi lain, Uni Eropa juga mempertimbangkan perubahan kebijakan terhadap Suriah. Dengan mempertimbangkan perkembangan di bawah otoritas transisi kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS)—mantan afiliasi al-Qaeda—UE mulai membuka opsi untuk melonggarkan sanksi terhadap negara yang masih dilanda konflik itu.

Blok Eropa menyetujui “peta jalan” untuk melonggarkan sanksi sambil tetap mempertahankan kemungkinan pemberlakuan kembali jika Suriah gagal membentuk pemerintahan yang inklusif atau terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

Julien Barnes-Dacey, Direktur Program Timur Tengah & Afrika Utara di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR), menyatakan bahwa semakin banyak negara Eropa yang menyadari perlunya mempercepat pencabutan sanksi.

“Kondisi ekonomi yang buruk jelas merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi transisi positif. Ada risiko nyata bahwa jika negara tidak dapat distabilkan, keadaan dapat memburuk dengan cepat,” kata Barnes-Dacey kepada DW.