Pintasan.co, Makassar – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan mencatat adanya deflasi sebesar 0,34 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Mei 2025.

Penurunan harga kebutuhan pokok, terutama bahan pangan, menjadi faktor utama yang mendorong deflasi tersebut.

Kepala BPS Sulsel, Aryanto, menjelaskan bahwa deflasi ini disebabkan oleh penurunan indeks harga di beberapa kelompok pengeluaran rumah tangga.

Kelompok yang memberikan kontribusi paling besar terhadap deflasi adalah makanan, minuman, dan tembakau, dengan penurunan indeks mencapai 1,41 persen.

Penurunan juga tercatat di kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 0,05 persen, perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,04 persen, serta perlengkapan dan pemeliharaan rumah tangga sebesar 0,17 persen.

Dari sisi komoditas, sebagian besar penyumbang deflasi berasal dari bahan pangan segar.

Penurunan harga tertinggi dicatatkan oleh cabai rawit yang turun hingga 25,38 persen dan tomat yang anjlok sebesar 27,03 persen.

Selain itu, komoditas lain seperti bawang merah (−10,61%), kangkung (−10,93%), bayam (−8,7%), dan kentang (−14,44%) juga turut menyumbang penurunan harga.

Daging ayam ras, udang basah, ikan teri, dan kacang panjang juga mengalami penurunan harga, meskipun dalam persentase yang lebih kecil.

“Semua kota yang menjadi cakupan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Sulsel mengalami deflasi pada bulan ini,” ujar Aryanto dalam konferensi pers di Makassar, Senin (2/6/2025).

Parepare menjadi kota dengan deflasi tertinggi, yaitu 0,64 persen, diikuti oleh Makassar (0,41%), Wajo (0,32%), Sidrap (0,27%), Palopo (0,1%), Luwu Timur (0,04%), serta Bulukumba dan Watampone yang sama-sama mencatat deflasi ringan sebesar 0,01 persen.

Namun demikian, jika dilihat dari sisi tahunan (year on year/yoy), Sulsel masih mengalami inflasi sebesar 2,04 persen pada Mei 2025.

Baca Juga :  Mengawali Tugas Baru di Kota Santri, Kapolres Jombang Sowan ke Ponpes Tebu Ireng

Begitu pula dari awal tahun hingga Mei (year to date/ytd), inflasi tercatat sebesar 1,9 persen.

Inflasi tahunan ini dipicu oleh kenaikan indeks pada sejumlah kelompok pengeluaran, seperti makanan, minuman, dan tembakau (1,84%); pakaian dan alas kaki (1,93%); serta perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga (0,77%).

Kenaikan juga tercatat pada kelompok kesehatan (1,97%), transportasi (0,44%), pendidikan (1,02%), serta penyediaan makanan dan minuman/restoran (3,16%).

Sementara itu, kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya menunjukkan lonjakan paling signifikan dengan inflasi mencapai 10,58 persen.

“Penyumbang terbesar inflasi tahunan berasal dari kenaikan harga emas perhiasan yang melonjak hingga 46,45 persen, diikuti ikan bandeng (18,52%) dan sigaret kretek mesin (4,79%),” terang Aryanto.