Pintasan.co, Jakarta – Banyak pihak menilai bahwa isu pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencerminkan dinamika politik yang semakin kompleks pasca pemilu. Sebagian kalangan, termasuk para purnawirawan TNI, menyuarakan kekhawatiran terhadap dugaan pelanggaran etika dan konstitusi dalam proses pencalonan Gibran. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah elemen masyarakat masih mempertanyakan legitimasi politik yang didasarkan pada perubahan aturan yang dianggap tidak netral.
Meski demikian, dari sudut pandang hukum, proses pemakzulan bukanlah hal yang mudah dilakukan. Opini umum cenderung melihat bahwa langkah ini memerlukan pembuktian hukum yang kuat dan dukungan politik yang signifikan. Dalam hal ini, wajar jika sebagian masyarakat beranggapan bahwa pemakzulan bukan sekadar soal ketidakpuasan terhadap figur politik, melainkan harus didasari pada pelanggaran serius yang terverifikasi.
Sementara itu, beberapa kalangan menilai bahwa pemilihan Gibran sebagai Wakil Presiden telah melalui proses pemilu yang sah, sehingga segala upaya untuk menggugatnya perlu dilandasi pada prosedur yang sesuai dengan hukum tata negara. Di tengah perbedaan pandangan ini, sebagian masyarakat memilih untuk menunggu kejelasan dari proses administrasi dan verifikasi hukum yang sedang berlangsung di DPR.
Isu pemakzulan ini lebih banyak dipandang sebagai bagian dari dinamika pengawasan publik terhadap kekuasaan, meski peluang untuk benar-benar membawa kasus ini ke tahap lanjut dinilai masih kecil. Opini publik saat ini terbagi antara yang mendukung evaluasi menyeluruh terhadap etika berpolitik, dan yang melihat proses ini hanya sebagai riak politik pasca pemilu.
Wacana ini dipandang bukan hanya sebagai persoalan individu, tetapi berkaitan erat dengan stabilitas politik, legitimasi hukum, dinamika sosial, hingga kelangsungan pemerintahan.
Dari sisi politik, sebagian masyarakat memperkirakan bahwa pemakzulan bisa memicu krisis kepercayaan terhadap pasangan Prabowo–Gibran yang belum lama dilantik. Tidak sedikit pula yang menilai bahwa situasi ini berpotensi memunculkan ketegangan baru di antara elite partai politik, terutama jika terjadi perbedaan sikap yang tajam antara koalisi pendukung dan oposisi. Dalam konteks ini, beberapa pengamat memandang bahwa kelompok oposisi bisa saja memanfaatkan momen ini untuk memperkuat posisi mereka dalam diskursus publik.
Secara hukum dan ketatanegaraan, wacana ini kerap dianggap sebagai ujian bagi lembaga-lembaga tinggi negara. Publik berharap proses semacam ini dijalankan secara adil dan terbuka, tanpa tekanan politik. Bila benar terjadi, sebagian kalangan melihatnya sebagai preseden penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sekaligus peluang untuk menegaskan integritas konstitusional.
Dampak sosial juga menjadi perhatian banyak pihak. Umumnya, masyarakat menilai bahwa isu ini berpotensi memecah opini publik, terutama jika disertai narasi yang mempolarisasi. Dalam suasana seperti ini, tidak jarang kepercayaan terhadap demokrasi bisa tergerus, apalagi jika proses pemakzulan dianggap sarat kepentingan tertentu.
Selain itu, dengan adanya wacana ini stabilitas pemerintahan bisa terganggu. Banyak yang berpendapat bahwa perhatian pemerintah bisa teralihkan dari agenda kerja ke persoalan politik internal, yang pada akhirnya berdampak pada jalannya roda pemerintahan dan situasi ekonomi nasional.
Dari sudut pandang personal, tak sedikit yang memperkirakan bahwa karier politik Gibran dan reputasi keluarga Jokowi bisa terdampak secara signifikan. Isu ini memunculkan kembali diskusi publik soal etika kekuasaan dan keberlanjutan dinasti politik dalam sistem demokrasi.
Wacana pemakzulan ini dinilai banyak pihak sebagai isu besar yang berpotensi mengguncang peta kekuasaan nasional. Meskipun peluang realisasinya dinilai kecil, namun diskursusnya sendiri telah memunculkan berbagai respons dan pertanyaan mendalam tentang arah demokrasi Indonesia ke depan.
(Penulis : Umi Hanifah Content Writer Pintasan.Co)