Pintasan.co, Yogyakarta – Adrem, makanan tradisional khas Bantul yang baru-baru ini resmi diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTb) oleh Kementerian Kebudayaan RI, semakin menarik perhatian banyak orang.
Bentuknya yang unik mirip kuncup bunga yang akan mekar serta rasa manis dan gurih yang khas menjadikannya hidangan yang banyak dicari.
Selain rasanya yang lezat, adrem juga memiliki makna filosofis yang mendalam, melambangkan pengampunan dan ketenangan hidup.
Asal-usul adrem erat kaitannya dengan tradisi masyarakat Bantul yang menghubungkannya dengan proses panen padi.
Pada masa lalu, adrem dibuat sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri, simbol kesuburan, sekaligus sebagai ungkapan syukur atas hasil panen.
Para pedagang adrem biasanya berkeliling dari sawah ke sawah untuk menawarkan kue ini kepada petani, yang kemudian menukarnya dengan hasil panen mereka.
Makanan Tradisional Adrem
Saat ini, adrem masih dilestarikan dan terus berkembang di Padukuhan Piring II, Desa Murtigading, Kecamatan Sanden, di mana sejumlah pengrajin terus menjaga tradisi pembuatan kue ini.
Salah satu pengrajin adrem yang terkenal adalah Adha Dewi Prihantini, atau lebih dikenal dengan sebutan Mbak Dewi, yang telah mulai memproduksi adrem sejak tahun 2015.
Awalnya mengikuti pelatihan UMKM yang diselenggarakan oleh pemerintah desa, Dewi kini berhasil mengelola usaha ini dan tetap eksis selama sembilan tahun.
“Adrem ini adalah makanan tradisional yang sudah ada sejak zaman nenek moyang, dan sekarang alhamdulillah semakin banyak orang yang menikmati, dari anak-anak hingga orang tua,” kata Dewi.
Di bawah kepemimpinannya, produksi adrem kini melibatkan enam pegawai yang mayoritas adalah warga lokal.
Setiap hari, Dewi dan timnya memproduksi sekitar 20-30 kilogram adrem, dan pada musim liburan atau Lebaran, jumlah tersebut bisa meningkat lebih dari 50 kilogram.
Penjualannya menyasar pasar tradisional serta wisatawan yang mengunjungi pantai di sekitar Bantul. Selain mempertahankan rasa gula jawa sebagai ciri khas, Dewi juga berinovasi dengan menawarkan varian rasa lain seperti stroberi, durian, dan melon untuk menarik lebih banyak pembeli.
Dengan harga yang terjangkau, yakni Rp7.000 per kemasan mika berisi enam buah adrem, usaha ini tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga memberikan manfaat sosial dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi ibu-ibu rumah tangga di sekitar.
“Semoga ke depan adrem semakin laris dan dikenal lebih luas, bisa membantu lebih banyak orang,” harap Dewi.
Adrem bukan sekadar makanan ringan, melainkan juga simbol kearifan lokal yang terus berkembang dan menciptakan sejarah baru di tengah arus modernisasi.