Pintasan.co, Yogyakarta – Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di Kota Yogyakarta.
Dikenal juga sebagai Keraton Yogyakarta, keraton ini didirikan pada tahun 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti.
Keraton ini mencakup area seluas 14.000 meter persegi dan di dalamnya terdapat berbagai bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal Sultan beserta keluarganya, serta abdi dalem keraton.
Kawasan keraton Yogyakarta merupakan sebuah living monument yang terus berkembang dan memiliki luas yang signifikan. Hal ini tercermin dalam penetapan kawasan keraton sebagai salah satu cagar budaya di Yogyakarta melalui SK Gubernur No. 186/2011.
Keputusan tersebut mencakup wilayah di dalam benteng Baluwarti (Njeron Benteng) serta sebagian wilayah Mantrijeron, Mergangsan, Gondomanan, dan Ngampilan.
Pada tahun 2017, terbit Peraturan Gubernur No. 75/2017 yang menyatukan kawasan cagar budaya Malioboro dan dalam benteng keraton (Baluwarti) menjadi satu kawasan yang disebut Kawasan Cagar Budaya Keraton, yang membentang dari Tugu hingga Panggung Krapyak.
Pada abad ke-16, terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan yang bernama Mataram. Kerajaan ini awalnya berpusat di Kota Gede, sebelah tenggara Yogyakarta, dan kemudian berpindah ke Kerta, Plered, Kartasura, serta Surakarta.
Namun, seiring waktu, kewibawaan Mataram mulai terganggu akibat intervensi dari kompeni Belanda. Hal ini memicu munculnya gerakan perlawanan terhadap penjajahan, yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi, yang turut menggerakkan tokoh-tokoh lainnya, seperti Patih Pringgalaya.
Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari
Untuk mengakhiri konflik, disepakati Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari pada 13 Februari 1755 (Kamis Kliwon, 12 Robingulakir 1680 TJ).
Perjanjian ini memutuskan untuk membagi kerajaan Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Setelah itu, pada 15 Februari 1755, diadakan pertemuan antara Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari. Dalam pertemuan ini, ditetapkan dasar-dasar kebudayaan masing-masing kerajaan.
Kesepakatan ini dikenal sebagai Perjanjian Jatisari, yang mengatur perbedaan identitas kedua wilayah yang kini menjadi dua kerajaan terpisah.
Pembahasan dalam perjanjian tersebut mencakup aspek-aspek seperti pakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari, dan lainnya.
Hasil dari perjanjian ini adalah Sultan Hamengkubuwono I memutuskan untuk melanjutkan tradisi-tradisi lama budaya Mataram, sementara Sunan Pakubuwono III sepakat untuk mengubah atau menciptakan bentuk budaya baru.
Perjanjian Jatisari menandai awal dari perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta.
Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat
Tanggal 13 Maret 1755 (Kamis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) menjadi hari bersejarah bagi Kasultanan Yogyakarta, karena pada hari tersebut proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat diumumkan.
Kemudian, pada 9 Oktober 1755, Sultan Hamengkubuwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta.
Keraton, yang berfungsi sebagai pusat kegiatan budaya dan tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono I serta keluarganya, tidak seluruhnya dapat diakses oleh publik.
Arsitektur keraton dirancang oleh Sultan Hamengkubuwono I, yang juga merupakan pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Desain bangunannya dipengaruhi oleh gaya Eropa (Portugis dan Belanda) serta China.
Pembangunan bangunan utama dan perencanaan tata ruang keraton, termasuk desain lanskap kota Yogyakarta yang lama, selesai antara tahun 1755-1756.
Keraton Yogyakarta terbagi menjadi tiga area utama, yaitu kompleks depan, kompleks inti, dan kompleks belakang.
Kompleks depan keraton meliputi Gerbang Utama Gladhjak-Pangurakan, Alun-alun Utara, dan Masjid Gedhe.
Sementara itu, kompleks inti keraton terdiri dari tujuh plataran yang terhubung, mulai dari Alun-alun Utara hingga Alun-alun Selatan, yang mencakup Pagelaran dan Sitihinggil Lor, Kemandungan Lor, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kamandungan Kidul, dan Sitihinggil Kidul.
Adapun kompleks belakang keraton terdiri dari Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya.
Hubungan erat Malioboro dan Keraton
Malioboro memiliki hubungan yang erat dengan berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, karena wilayah ini merupakan bagian penting dari tata ruang ibu kota kerajaan.
Di sepanjang Jalan Malioboro, terdapat Kepatihan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan Pasar Gedhe yang menjadi pusat ekonomi masyarakat.
Kedua elemen ini merupakan bagian dari konsep tata ruang yang disebut catur gatra tunggal atau catur sagotra.
Menurut konsep ini, terdapat empat elemen utama yang saling berkaitan: politik (keraton dan kepatihan), keagamaan (Masjid Gedhe), ekonomi (Pasar Gedhe), dan sosial (alun-alun).
Jalan Malioboro dianggap sebagai sumbu filosofi yang menghubungkan Tugu dengan Keraton Yogyakarta.
Secara simbolis, garis filosofi tersebut terwujud dalam simpul-simpul berupa Panggung Krapyak-Keraton Yogyakarta-Tugu Golong Giling yang melambangkan konsep sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan dari adanya hidup.
Filosofi dari jalang Panggung Krapyak menuju Keraton Yogyakarta menggambarkan perjalanan manusia sejak di dalam kandungan, lahir, beranjak dewasa, menikah, hingga memiliki anak (sangkaning sumadi).
Sedangkan, dari Tugu Golong Giling ke arah selatan menggambarkan perjalanan manusia ketika hendak menghadap Sang Khalik (paraning dumadi), meninggalkan alam fana dunia menuju alam baka (akhirat).
Selain kawasan Ndalem Keraton, wilayah keraton juga menyimpan berbagai situs, bangunan, dan tempat bersejarah yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Beberapa di antaranya adalah Tamansari, Museum Sonobudoyo, serta benteng dan kelengkapannya.