Pintasan.co, Jakarta — PT Pertamina (Persero) resmi mengimpor minyak mentah dari Rusia melalui mekanisme tender terbuka sejak Mei 2024. Kebijakan ini menandai langkah diversifikasi pasokan energi nasional yang kian mendesak, seiring meningkatnya volatilitas harga minyak dunia dan gejolak geopolitik global. Namun, langkah ini juga mengundang perhatian luas karena menyangkut kepatuhan terhadap sanksi internasional dan posisi Indonesia dalam lanskap diplomasi energi global.
Impor dilakukan dengan tetap merujuk pada regulasi yang ditetapkan Office of Foreign Assets Control (OFAC) dari Amerika Serikat, yang mengatur sanksi terhadap komoditas Rusia. Pertamina memastikan bahwa minyak mentah yang diimpor tidak disimpan dalam jangka panjang, melainkan langsung diolah di kilang dalam negeri.
“Kami tidak menyimpan, melainkan langsung proses di kilang untuk kebutuhan domestik,” ujar Taufik Adityawarman, CEO PT Kilang Pertamina Internasional, dalam sebuah pernyataan.
Menanggapi hal ini, Romadhon Jasn, Direktur Gagas Nusantara, menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah berani namun rasional.
“Diversifikasi pasokan energi adalah keniscayaan. Kita tidak bisa bergantung pada satu sumber di tengah dinamika geopolitik seperti sekarang,” katanya, ke awak media Pintasan.co, Senin (26/5).
Namun, ia menekankan pentingnya transparansi publik atas proses impor, termasuk volume, jalur distribusi, dan verifikasi kepatuhan terhadap ketentuan internasional.
Polemik muncul karena beredarnya informasi yang simpang siur mengenai distribusi minyak Rusia, termasuk isu bahwa kilang di Karimun, Kepulauan Riau, telah menerima pasokan dari Rusia—yang kemudian dibantah oleh pihak Pertamina. Romadhon menilai kabar semacam ini berpotensi mengganggu kepercayaan publik.
“Justru di sinilah perlunya komunikasi yang terbuka dan konsisten. Jika transparan, publik akan memahami kompleksitas kebijakan energi yang dijalankan pemerintah,” tambahnya.
Secara geopolitik, Indonesia tengah menapaki jalur diplomasi energi yang tidak mudah. Minyak dari Rusia jelas lebih murah, namun Indonesia harus cermat menjaga relasi dengan mitra strategis seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Romadhon melihat tantangan ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara nonblok yang aktif.
“Bukan sekadar netral, tapi aktif membangun keseimbangan dan kemandirian energi,” ujarnya.
Gagas Nusantara juga menilai kebijakan ini tidak berdiri sendiri, tetapi bagian dari langkah lebih luas pemerintah dalam merancang bauran energi yang adaptif.
Selain Rusia, Indonesia juga menjalin kerja sama energi dengan negara-negara Timur Tengah, Iran, dan Amerika Serikat. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa pada awal 2025, sekitar 30 persen impor minyak Indonesia masih berasal dari AS, mencerminkan kehati-hatian dalam menjaga keseimbangan politik dan ekonomi.
“Pertamina dan pemerintah harus menjaga ritme kebijakan ini agar tetap transparan, efisien, dan berpihak pada kepentingan nasional,” tegas Romadhon.
Ia mendorong adanya laporan terbuka secara berkala untuk menghindari bias informasi dan menjaga legitimasi kebijakan di mata publik maupun internasional.
Impor minyak dari Rusia mungkin hanyalah satu dari sekian strategi pasokan energi, tapi kebijakan ini menjadi tolok ukur bagaimana Indonesia mengelola kompleksitas global tanpa kehilangan arah nasional. Romadhon menilai, bila dikelola secara akuntabel dan komunikatif, kebijakan ini bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara energi namun tetap cerdas secara diplomasi.
Indonesia tengah diuji bukan hanya soal pasokan energi, tetapi dalam mengelola persepsi global, menjaga reputasi, dan memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam hal ini, Gagas Nusantara optimistis bahwa Pertamina dan pemerintah bisa menunjukkan keteladanan dalam kebijakan yang adaptif, jujur, dan tangguh menghadapi dunia yang terus berubah.