Pintasan.co, Jakarta – Sejumlah ekonom dari berbagai universitas mengingatkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menunda rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.
Mereka beralasan bahwa kondisi ekonomi domestik saat ini tengah mengalami tekanan, yang tercermin dari rendahnya laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 yang hanya tumbuh di bawah 5%.
Tekanan ini dipicu oleh daya beli masyarakat yang tergerus akibat inflasi yang tinggi dalam beberapa bulan terakhir dan upah yang masih rendah.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, mengatakan bahwa data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengkonfirmasi analisis terkait penurunan daya beli masyarakat.
“Angka-angka yang dikeluarkan BPS itu cukup mengkonfirmasi analisis kita terkait penurunan daya beli,” ujar Telisa dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada Jumat (8/11/2024).
Kebijakan PPN 12%
Menurut Telisa, jika kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tetap diterapkan, hal itu justru akan semakin membebani daya beli masyarakat dan dapat memperburuk konsumsi rumah tangga.
“Kenaikan PPN ini harus diwaspadai, karena dikhawatirkan dapat semakin menekan daya beli masyarakat,” tegasnya.
Telisa menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan untuk menunda rencana kenaikan PPN tersebut hingga daya beli masyarakat dapat diperbaiki melalui penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas dan peningkatan upah yang lebih layak.
“Harapannya, PPN bisa ditunda dulu. Mungkin juga subsidi BBM tidak perlu dihapus sepenuhnya, terutama untuk kelompok-kelompok rentan yang benar-benar membutuhkan,” ujarnya.
Ekonom lain, Wahyu Widodo dari Universitas Diponegoro, juga mengungkapkan pandangan serupa. Wahyu menilai bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tetap melaksanakan kenaikan PPN pada Januari 2025.
Kenaikan pajak tersebut, menurutnya, akan langsung berimbas pada harga barang-barang yang dikonsumsi masyarakat, yang pada gilirannya dapat memperburuk daya beli yang sudah tertekan.
“Lebih baik ditunda dulu, mengingat beratnya tekanan ekonomi saat ini. Justru yang dibutuhkan sekarang adalah stimulus fiskal untuk mendorong perekonomian,” kata Wahyu.
Ia menilai bahwa agar perekonomian dapat tumbuh lebih baik, pemerintah harus memaksimalkan belanja negara.
“Jika mengandalkan konsumsi rumah tangga, itu akan sulit karena daya beli sedang ambruk. Ekspor juga berisiko tertekan karena harga komoditas yang moderat dan lemahnya aktivitas ekonomi global,” jelas Wahyu.
Ia juga menambahkan bahwa peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat vital untuk menjadi penyeimbang ekonomi di kuartal IV-2024.
Namun, transisi ke pemerintahan baru bisa memperlambat upaya tersebut, mengingat tantangan koordinasi dan sinergi yang mungkin muncul.
Jika hal ini dapat diatasi, Wahyu percaya bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV masih bisa bertahan di kisaran 5%.
Dengan berbagai pendapat ini, jelas bahwa para ekonom sepakat bahwa kenaikan PPN pada 2025 perlu dipertimbangkan kembali, terutama jika daya beli masyarakat masih tertekan dan ekonomi domestik belum menunjukkan pemulihan yang signifikan.