Pintasan.co, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertimbangkan untuk segera memulai pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Polri setelah menyelesaikan pengesahan RUU TNI.

Namun, Ketua DPR Puan Maharani menyebutkan bahwa pembahasan tersebut masih menunggu surat presiden (surpres) terkait RUU Polri, sehingga prosesnya belum dimulai.

“Surpres belum ada, kami akan lihat lagi,” ungkapnya secara singkat di gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 20 Maret 2025.

RUU Polri merupakan inisiatif dari DPR yang telah dibahas sejak tahun 2024.

Beberapa pasal dalam RUU ini diusulkan untuk diubah, sesuai dengan draf yang diperoleh Tempo.

Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah Pasal 16 ayat 1 huruf q, yang memberi kewenangan pada Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, atau perlambatan akses ruang siber demi tujuan keamanan dalam negeri.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengkritik hal ini, karena dinilai bisa membatasi ruang berpendapat masyarakat.

Mereka juga mengingatkan potensi tumpang tindih kewenangan antara Polri dan lembaga lain seperti Kementerian Komunikasi dan Digital, serta Badan Sandi dan Siber Negara.

Perubahan lainnya yang kontroversial terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g, yang memberikan tugas kepada Polri untuk mengkoordinasi dan membina teknis kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, serta pengamanan swakarsa.

Koalisi Masyarakat Sipil khawatir perubahan ini bisa mengarah pada penguatan Polri sebagai superbody investigator, yang dapat menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan peluang bisnis keamanan.

Pasal 16 A juga menjadi polemik, karena mengatur kewenangan Polri dalam menyusun rencana kebijakan intelijen, yang menurut Koalisi Masyarakat Sipil dapat memberi Polri kekuasaan lebih besar dari lembaga lain yang mengurus intelijen.

Hal ini bisa mempengaruhi independensi lembaga-lembaga intelijen lainnya seperti BSSN dan Badan Intelijen Strategis TNI.

Baca Juga :  Jumlah Pengunjung Istiqlal 10.000 Orang Per Hari dalam 3 Tahun Terakhir

Usulan mengenai perpanjangan batas usia pensiun bagi anggota Polri, yang tercantum dalam Pasal 30 ayat 2 RUU Polri, juga menuai penolakan.

Dalam draf tersebut, usia pensiun polisi diusulkan diperpanjang menjadi 60 tahun untuk anggota biasa, 62 tahun bagi yang memiliki keahlian khusus, dan 65 tahun untuk pejabat fungsional.

Masyarakat sipil khawatir hal ini akan menghambat regenerasi dalam tubuh kepolisian dan tidak menyelesaikan masalah penumpukan perwira tinggi dan menengah.

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menegaskan agar DPR dan pemerintah tidak terburu-buru dalam menyusun undang-undang, termasuk revisi UU Polri.

Dia menyarankan agar DPR lebih memprioritaskan pembahasan RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, serta RUU Masyarakat Adat.

“Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini,” ujar Isnur pada Ahad, 23 Maret 2025.