Pintasan.co, Jakarta – Ekonom Bhima Yudhistira Adhinegara memberikan saran agar pemerintah mempertimbangkan kembali rencananya untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku mulai 1 Januari 2025.

Sebagai Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima mengingatkan bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen dari 11 persen menjadi 12 persen sebenarnya merupakan peningkatan sebesar 9,09 persen, bukan hanya 1 persen.

Menurutnya, perubahan tersebut berisiko besar untuk menyebabkan inflasi yang lebih tinggi, penurunan daya beli masyarakat, serta potensi meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Perbedaan antara selisih tarif 1 persen dan kenaikan tarif itu sangat signifikan. Jika dihitung, kenaikan 12 persen dari tarif 11 persen akan menghasilkan kenaikan 9,09 persen, bukan 1 persen. Jadi, jika dilihat dalam jangka waktu empat tahun terakhir (2022-2025), tarif PPN sebenarnya sudah mengalami kenaikan kumulatif sebesar 20 persen, bukan hanya 2 persen,” jelas Bhima dalam wawancaranya dengan Pajak.com pada 25 November 2024.

Bhima menambahkan bahwa angka kenaikan tarif PPN yang mencapai 20 persen dalam empat tahun terakhir ini tergolong tinggi, bahkan lebih besar dibandingkan dengan akumulasi inflasi tahunan dan pertumbuhan upah riil pekerja.

Ia memperingatkan bahwa dampak dari kenaikan PPN ini akan langsung terasa pada inflasi umum, dengan harga barang-barang yang menjadi lebih mahal.

Ia memproyeksikan bahwa inflasi pada 2025 bisa mencapai angka antara 4,5 hingga 5,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Kenaikan PPN yang cukup signifikan ini, menurut Bhima, berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat, yang pada gilirannya dapat berdampak pada kinerja ekonomi secara keseluruhan.

Sebagai alternatif, ia mengusulkan agar pemerintah mencari cara lain untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat dengan tarif pajak yang lebih tinggi.

Baca Juga :  Buka Konbes Fatayat NU, Gibran Bicara soal Perlindungan Perempuan