Pintasan.co, Jakarta – Pemerintah Georgia berhasil memberantas korupsi yang telah lama mengakar dalam waktu relatif singkat.
Sejak merdeka pada 1991 setelah pecahnya Uni Soviet, korupsi telah menjadi masalah utama di negara tersebut.
Hingga tahun 2003, upaya pemberantasan korupsi masih gagal, menyebabkan stagnasi ekonomi dan menghambat reformasi.
Situasi ini memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Di tengah ancaman kehancuran negara, Presiden Mikheil Saakashvili, yang terpilih pada Januari 2004, melaksanakan reformasi besar-besaran untuk mengatasi korupsi.
Langkah-langkah yang diambil meliputi reformasi di berbagai sektor, termasuk bisnis dan kepolisian. Bank Dunia dalam buku Fighting Corruption in Public Services: Chronicling Georgia’s Reforms (2012) mencatat bahwa korupsi dan kejahatan merajalela di Georgia sejak 1991 hingga 2003.
Pada saat itu, hampir semua aspek kehidupan terdampak, terutama di kepolisian lalu lintas, di mana petugas kerap melakukan pemerasan terhadap pengendara dan pejalan kaki.
Korupsi juga terjadi di berbagai layanan pemerintahan, seperti pengurusan paspor, pendaftaran properti, perizinan usaha, hingga layanan pendidikan dan kesehatan.
Bahkan, sektor peradilan dan perpajakan tidak luput dari praktik korupsi, dengan banyak pejabat yang memperkaya diri dan berkolaborasi dengan kelompok kriminal.
Kondisi ini menyebabkan rendahnya minat investor asing untuk berinvestasi di Georgia, memperburuk ketidakstabilan ekonomi.
Maraknya korupsi dan kejahatan akhirnya memicu protes besar-besaran dari masyarakat. Demonstrasi yang berlangsung setiap hari selama pemilu parlemen berujung pada pengunduran diri Presiden Eduard Shevardnadze pada 2003.
Mikheil Saakashvili, mantan menteri kehakiman sekaligus tokoh oposisi yang dikenal vokal menentang korupsi, terpilih sebagai presiden pada 4 Januari 2004.
Ia berkomitmen menerapkan Undang-Undang Antikorupsi yang ketat serta menyelidiki kasus korupsi tingkat tinggi. Saakashvili menegaskan bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap kepentingan nasional.
Pemerintah baru segera mengambil langkah-langkah tegas, di antaranya:
- Peningkatan Kinerja Pemerintah
- Penangkapan besar-besaran terhadap pelaku kejahatan dan pejabat korup.
- Peningkatan layanan publik, seperti penyediaan listrik tanpa henti dan reformasi dalam sistem pendidikan tinggi.
- Perbaikan sistem perpajakan, bea cukai, regulasi bisnis, serta desentralisasi layanan perkotaan sebagai bagian dari upaya reformasi antikorupsi.
- Reformasi Total Kepolisian
- Pemecatan 16.000 polisi lalu lintas dalam satu malam, diikuti dengan rekrutmen petugas baru dari lulusan universitas dan sekolah hukum.
- Peningkatan pelatihan dan pengawasan, termasuk masa percobaan enam bulan bagi polisi baru.
- Pemasangan CCTV di jalan raya serta penyediaan saluran darurat 24 jam untuk melaporkan tindakan suap.
- Kenaikan gaji polisi dan renovasi kantor kepolisian guna mencegah praktik korupsi.
Langkah-langkah ini membuahkan hasil, dan kondisi Georgia mulai membaik sejak 2004. Pemerintah berhasil membubarkan lembaga korup, menangani kasus penggelapan pajak, serta membangun institusi publik yang lebih transparan dan efisien.
Meski reformasi berjalan cukup sukses, layanan publik tetap memerlukan waktu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara optimal.
Dalam kurun 15 tahun, Georgia mengalami kemajuan signifikan dalam pemberantasan korupsi. Menurut Indeks Persepsi Korupsi 2024 yang dirilis Transparency International, Georgia kini menempati peringkat ke-53 dari 180 negara di Eropa Timur dan Asia Tengah, menjadikannya contoh keberhasilan reformasi antikorupsi.
Transparency International menekankan bahwa keberhasilan ini dapat dipertahankan jika pemerintah terus memperkuat lembaga negara, memperbaiki penegakan hukum, mendukung kebebasan pers, serta meningkatkan partisipasi warga dalam pemerintahan.
Untuk menghindari kemunduran, diperlukan kebijakan yang memastikan lembaga negara tetap beroperasi secara efektif, terutama di parlemen dan sistem peradilan