Pintasan.co, Jakarta – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi sorotan publik setelah mengunggah dua video monolog yang membahas isu-isu aktual melalui kanal YouTube pribadinya.
Langkah ini mengundang beragam tanggapan, termasuk dari Partai Golkar.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, menyampaikan bahwa posisi Gibran sebagai wakil presiden memang tidak mudah.
Menurutnya, seorang wakil cenderung berada di posisi yang serba salah.
“Menjadi wakil memang kerap membingungkan. Terlalu tampil bisa dianggap menyalip, tapi jika tenggelam justru dianggap tidak berkontribusi,” ujar Sarmuji, Rabu (23/4).
Meski begitu, ia menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto memberi ruang yang cukup luas bagi Gibran untuk berperan aktif.
“Pak Prabowo itu orangnya santai dan tidak mudah tersinggung, beliau tak membatasi ruang gerak wapresnya,” lanjutnya.
Menanggapi spekulasi bahwa video monolog Gibran merupakan strategi awal menuju Pemilihan Presiden 2029, Sarmuji membantahnya.
Ia menjelaskan bahwa konten tersebut dibuat semata-mata untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu penting, khususnya bonus demografi.
“Wapres Gibran hanya ingin mengingatkan bahwa bonus demografi bisa menjadi bencana jika tidak dikelola dengan baik,” katanya.
Diketahui, Gibran mengunggah video pertamanya pada Sabtu (19/4/2025), membahas tentang tantangan bonus demografi, generasi muda, dan kebanggaan atas film “Jumbo” karya anak bangsa.
Tiga hari kemudian, ia kembali mengunggah video kedua yang menyoroti keberhasilan Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia U-17, memicu semangat nasionalisme.
Meski menuai pujian dari sebagian pihak, tak sedikit yang menilai langkah Gibran sebagai upaya menjaga eksistensinya di dunia politik.
Pengamat politik UIN Jakarta, Adi Prayitno, menilai bahwa video-video tersebut merupakan strategi komunikasi untuk mempertahankan popularitas menuju 2029.
“Ini bagian dari cara Gibran untuk tetap berada dalam sorotan publik dan memperkuat citra sebagai pemimpin masa depan,” kata Adi.
Langkah komunikatif Gibran ini menandai gaya politik baru yang lebih pop dan digital, sekaligus menunjukkan bagaimana pejabat publik memanfaatkan platform media sosial untuk membentuk persepsi dan membangun narasi.