Pintasan.co, Jakarta – Situasi politik dan hukum di Indonesia telah mencapai titik nadir yang mengkhawatirkan.
Demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa kini dirusak oleh aktor-aktor politik yang justru lahir dari rahim reformasi.
Alih-alih menegakkan supremasi hukum dan kesejahteraan rakyat, mereka justru mengubah produk hukum, melanggengkan kekuasaan, mengamankan kepentingan oligarki, dan meneruskan impunitas terhadap aktor intelektual korupsi.
Akibatnya, publik kian terpinggirkan dari proses legislasi yang seharusnya menjunjung tinggi meaningful participatian.
Hak rakyat yang mestinya dipenuhi malah dirampas tindak pidana korupsi. Kini, ungkapan “neo-orba” yang kerapkali dilayangkan publik bukan lagi sekedar ungkapan, melainkan sesuatu yang mewujud dalam kenyataan.
Legislasi yang Mengangkangi Konstitusi
Sejumlah regulasi yang tengah digodok pemerintah dan DPR menunjukkan adanya intensi untuk mempersempit ruang demokrasi dan memperluas kontrol kekuasaan.
Agenda politik lancung yang kini berkembang adalah revisi Undang-Undang Kejaksaan.
Alih-alih memperkuat lembaga penegak hukum itu dengan memberikan independensi dan melepasnya dari intervensi kekuasaan eksekutif, revisi tersebut justru berpotensi menjadikan kejaksaan sebagai alat politik dengan kekuasaan absolut yang bisa dikendalikan sesuai selera penguasa.
Ini bukan sekedar dugaan atau asumsi belaka, melainkan telah mewujud dalam kenyataan.
Publik dengan telanjang menyaksikan betapa kini kejaksaan jadi “anjing” yang menggigit lawan politik dan disaat bersamaan melindungi tuannya.
Bila wacana revisi UU Kejaksaan benar terjadi, maka itu berpotensi menjadikan jaksa kebal hukum, dimana pemeriksaan terhadap jaksa hanya bisa dilakukan atas izin jaksa agung.
Distrust terhadap Kejaksaan akibat tindakan korupnya dimasa lalu seolah raib dari ingatan penyelenggara negara.
Pemerintah bersama DPR seakan lupa, bahwa kekuasaan cenderung korup; dan kekuasaan absolut, korup secara absolut.
Genderang Bahaya Multifungsi Abri
Revisi UU TNI yang kini tengah dibahas DPR membunyikan sirine bahaya kejahatan masa lalu. Publik kini tidak lagi dihantui oleh rasa takut akan kembalinya dwifungsi ABRI, melainkan lebih dari itu, yakni multifungsi ABRI. Kenyataan ini jelas merupakan langkah mundur yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Peran TNI yang seharusnya fokus pada pertahanan negara kini kembali dicoba untuk disusupkan ke ranah sipil.
Bila revisi berhasil dilakukan, maka personel TNI dapat menduduki berbagai jabatan sipil, termasuk Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
Hal ini jelas merupakan ancaman serius pada penegakan hukum. Figur militer yang diasuh dengan perintah dan komando akan mencemari kemurnian penegakan hukum yang seharusnya netral dan bebas dari segala bentuk kepentingan.
Ini adalah pengkhianatan terang-terangan terhadap realitas historis TNI yang pernah menjadi alat represi, perampas hak asasi serta instrumen yang melanggengkan diktator tangan besi.
Pestapora Korupsi
Di sisi lain, dorongan untuk segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi harapan dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun, alih-alih disahkan, Undang-undang ini malah diabaikan.
Pemerintah dan DPR lebih sibuk mengamankan kepentingan politik mereka sendiri. Padahal, keberadaan UU Perampasan Aset sangat penting untuk menjerat para koruptor dengan hukuman yang lebih tegas dan memastikan aset negara yang telah dicuri dapat dikembalikan untuk kepentingan publik.
Padahal korupsi di Indonesia telah mencapai skala yang sangat mengkhawatirkan. Mega korupsi di PT. Pertamina yang hampir mencapai satu kuadraliun, isu korupsi PT. Antam yang tak kalah fantastis mencapai 5,9 kuadraliun, dan korupsi di PT. PLN menjadi bukti bahwa penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya negara semakin tak terkendali.
Angka-angka kerugian negara akibat korupsi di sektor ini sudah mencapai titik kulminasi yang bahkan tidak pernah terbayangkan oleh diktator paling korup sekalipun.
Ironisnya, penegakan hukum terhadap kasus-kasus ini sangat lemah, hanya menumpas kulit, tetapi mengabaikan aktor intelektual yang sesungguhnya.
Anomali Korupsi BUMN dan Impunitas Aktor Intelektual
Dalam skala korupsi raksasa yang menjerat berbagai BUMN tersebut, teramat mustahil bila pejabat tinggi pemegang pucuk kebijakan tidak terlibat.
Jajaran direktur yang pernah menjabat selama periodesasi korupsi itu terjadi tidak boleh bebas dari jerat hukum.
Kecurigaan publik bahwa korupsi ini dilakukan secara berjamaan harusnya diusut tuntas oleh aparat penegak hukum.
Sebab korupsi adalah fenomena gunung es, dimana hanya sebagian kecil yang nampak, sementara sebagaian besarnya tersebunyi dibawah permukaan.
Penegakan hukum terlarang berhenti hanya pada permukaan, melainkan harus menumpas habis begundal yang mengorkestrasi kejahatan.
Sengkarut korupsi fantastis tersebut lebih dari cukup sebagai alasan untuk mengamputasi Menteri BUMN, Erick Tohir dari jabatannya.
Bagaimana mungkin pestapora korupsi yang terjadi dihadapan batang hidungnya sendiri lepas dari pengawasan.
Kecuali bila ia turut menjadi bagian dari perampok yang menggasak uang negara, sebagaimana isu yang belakangan berkembang bahwa Menteri BUMN tiap bulannya diduga menerima uang haram pengamanan korupsi sebesar 50M melalui staf khususnya.
Makan Bergizi Gratis: Evaluasi Sebelum Jadi Ladang Korupsi
Dengan lemahnya penegakan hukum dan impunitas terhadap aktor intelektual korupsi, maka berbagai program baik yang dibuat oleh Presiden Prabowo cuma akan berakhir menjadi lading korupsi baru.
Hal tersebut kini turut terjadi terhadap Makan Bergizi Gratis (MBG).
Selain perencanaan yang serampangan bahkan terkesan absurd, terdapat berbagai penyimpangan dalam pelaksaan program tersebut.
Hampir setiap hari, linimasa media dihiasi dengan berita anak SD yang diberi makanan busuk yang tidak layak.
Kecurigaan telah terjadi penyimpangan dalam program MBG dikonfirmasi KPK melalui temuannya. Porsi MBG yang seharusnya Rp. 10.000 dalam praktinya dipangkas menjadi hanya sebesar Rp. 8.000.
Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan MBG.
Struktur pengelolaan keuangan negara yang tidak transparan telah membuka celah bagi korupsi yang semakin merajalela.
Quo Vadis Danantara?
Sebagai sebuah entitias ekonomi, hingga kini Danantara tidak menunjukan manfaat yang jelas. Sebaliknya, yang terjadi justru membebani negara dan berpotensi jadi sarang praktik korupsi.
Lembaga pengelola modal yang seharusnya dikelola oleh ahli ekonomi tersebut malah diisi oleh figur-figur politik.
Hal tersebut jelas berpotensi menyandera Danatara dalam konflik kepentingan politik. Oleh sebab itu, keseluruhan struktur, dasar dan tujuan Danantara harus dikaji kembali.
Pengkajian kembali Danantara kian relevan ditengah isu efisiensi anggaran. Belakangan, efisiensi anggaran kerap dijadikan dalih untuk memangkas alokasi dana diberbgai sector, salah satunya pendidikan. Pemangkasan tersebut harus ditolak keras.
Pendidikan adalah pilar utama dalam menciptakan generasi penerus yang cerdas dan berintegritas.
Pemangkasan anggaran di sektor ini hanya akan memperparah ketimpangan sosial dan menghambat pertumbuhan intelektual bangsa.
Merintis Gerakan Perlawanan
Indonesia sedang menghadapi ancaman besar dari dalam sistem pemerintahannya sendiri. Reformasi yang dahulu diperjuangkan kini dikhianati oleh para aktornya sendiri.
Berbagai revisi undang-undang yang sedang dibahas menunjukkan adanya upaya sistematis untuk melemahkan institusi-institusi demokrasi dan memperkuat cengkeraman kekuasaan.
Pada saat yang sama, korupsi semakin merajalela dengan nilai fantastis, sementara penegakan hukumnya justru semakin melemah.
Publik terlarang mendiamkan keadaan. Sebab diam dihadapan desakan keadaan tidak lain daripada kejahatan.
Harapan untuk demokrasi yang lebih sehat dan pemerintahan yang bersih harus tetap diperjuangkan. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka kita harus merintis perlawanan.
Kalau tidak, maka kita akan kembali ke era kegelapan di mana hukum hanya menjadi alat kekuasaan dan kesejahteraan rakyat dikorbankan demi kepentingan segelintir elit.
Oleh karena itu, kesadaran kolektif dan gerakan sipil harus terus disulut, agar demokrasi tidak mati di tangan para pengkhianat reformasi.
Penulis : Safrudin (Sekretaris Umum Badko HmI Jabodetabeka-Banten)