Pintasan.co, Jakarta – Kekhawatiran akan potensi pecahnya Perang Dunia III meningkat seiring keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik memanas antara Israel dan Iran di kawasan Timur Tengah.

Meski begitu, menurut Profesor Brian Toon, pakar terkemuka di bidang iklim dan atmosfer, ada 10 negara yang dinilai paling aman jika konflik global berskala besar benar-benar terjadi. Salah satunya adalah Indonesia.

Penilaian tersebut didasarkan pada kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif, yang ditegaskan oleh Presiden Pertama RI, Soekarno, sejak masa awal kemerdekaan.

Kebijakan ini mengedepankan posisi non-blok dan tidak berpihak pada salah satu kekuatan besar dunia dalam konflik global.

Pendekatan itu terus dilanjutkan oleh para pemimpin Indonesia hingga kini, dengan menitikberatkan pada diplomasi damai dan hubungan internasional yang netral.

Selain Indonesia, negara lain yang dinilai aman dari dampak langsung perang nuklir adalah Selandia Baru dan Australia.

Kedua negara tersebut memiliki keunggulan dalam sektor pertanian yang dapat bertahan meski terjadi perubahan iklim ekstrem akibat perang.

Toon menyebut, wilayah-wilayah di lintang tengah seperti Iowa dan Ukraina diprediksi akan tertutup salju hingga satu dekade, membuat pertanian gagal total dan mengancam kelangsungan hidup penduduknya.

Daftar lengkap negara-negara teraman menurut Toon meliputi: Antartika, Selandia Baru, Swiss, Islandia, Indonesia, Afrika Selatan, Argentina, Bhutan, Chili, dan Fiji. Namun, keamanan secara politik tidak serta-merta menjamin ketahanan ekonomi Indonesia jika Perang Dunia III benar-benar terjadi.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai bahwa secara fundamental, ekonomi Indonesia masih rentan menghadapi krisis global berskala besar.

Tantangan utama justru datang dari persoalan domestik yang belum terselesaikan.

Baca Juga :  Pemerintah Kabupaten Batang Menetapkan Candi Batu Bata Balekambang sebagai Situs Cagar Budaya

Menurut Bhima, ketidakstabilan fiskal dan struktur ekonomi dalam negeri bisa menghambat kemampuan Indonesia untuk bertahan.

Meski situasi geopolitik global bisa memberi peluang, seperti potensi masuknya investasi dari negara-negara yang mencari wilayah aman, Bhima menilai Indonesia belum sepenuhnya siap menyambut peluang itu.

Masalah-masalah yang dinilai menjadi hambatan antara lain birokrasi yang gemuk dan tidak efisien, terutama akibat struktur kementerian dan lembaga yang semakin kompleks di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran.

Hal ini berpotensi memperlambat pengambilan keputusan penting, terutama terkait perizinan dan investasi.

Indonesia juga masih tertinggal secara daya saing dibanding negara-negara ASEAN lain, ditambah dengan biaya logistik yang tinggi dan suku bunga kredit yang memberatkan dunia usaha.

Ketergantungan ekonomi Indonesia pada ekspor sumber daya alam turut menambah kerentanan terhadap fluktuasi harga komoditas global.

Bhima memprediksi harga minyak mentah akan naik ke kisaran USD 80-83 per barel, yang akan memberikan tekanan tambahan pada sektor energi dan logistik.

Oleh karena itu, menurut Bhima, Indonesia harus memastikan tetap berada di posisi non-blok dan memainkan peran sebagai middle power dalam geopolitik global.

Hal ini penting untuk menjaga stabilitas domestik sekaligus menghindari keterlibatan dalam konflik bersenjata global yang dipicu oleh aksi agresif AS terhadap Iran seperti pengeboman fasilitas nuklir Iran pada 21 Juni 2025 lalu.

“Indonesia harus tetap pada posisinya yang independen dan tidak memiliki musuh strategis dari luar,” tutup Bhima.