Pintasan.co, Jakarta – Kasus antara Nikita Mirzani, putrinya Lolly, dan kekasih Lolly, Vadel Badjideh, dimulai dari perseteruan keluarga setelah Lolly mendukung Antonio Dedola.

Lolly menjalin hubungan dengan Vadel, yang memperburuk hubungan dengan Nikita.

Pada 12 September 2024, Nikita melaporkan Vadel atas dugaan persetubuhan dan pemaksaan aborsi. Pada 19 September 2024, Lolly dijemput polisi untuk pemeriksaan.

Namun, awal 2025, Lolly kabur dari rumah aman dan menemui pengacaranya, Razman Arif Nasution, yang menyatakan Lolly merasa tidak nyaman di tempat tersebut.

Peristiwa penjemputan putri sulung Nikita Mirzani, Lolly, di apartemennya pada Kamis siang, 19 September 2024, menarik perhatian publik.

Dalam sebuah siaran langsung di akun TikTok Mail Syahputra, asisten Nikita Mirzani, Lolly terlihat berteriak dengan histeris.

Beberapa orang yang berada di sekitarnya mencoba menenangkannya selama proses tersebut, namun sayangnya, gadis berusia 16 tahun tersebut terus berteriak menolak untuk dijemput dan meminta pertolongan dari orang-orang di sekitarnya untuk membebaskannya.

Kurangnya regulasi emosi

Indah SJ, M.Psi., Psikologi, pada usia seperti LM, seharusnya kemampuan untuk mengatur emosi sudah berkembang dengan lebih baik.

Hal ini mungkin terkait dengan fakta bahwa LM belum menemukan tempat yang tepat untuk meluapkan emosinya, atau tidak ada orang yang bisa menerima dan memahami perasaannya.

“Makanya LM melampiaskan emosinya pada orang-orang yang pada dasarnya belum tentu bisa memvalidasi emosinya.” kata Indah.

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan perasaan dengan cara yang seimbang dan tepat.

Beberapa faktor yang dapat memengaruhi kurangnya regulasi emosi antara lain pola asuh, proses pembelajaran melalui pengamatan dan peniruan, ketidakhadiran tempat untuk didengarkan, serta emosi yang tidak divalidasi.

Peran orang tua dalam membangun hubungan yang sehat dan memberikan perhatian pada aspek sosial-emosional anak sangat penting dalam perkembangan pribadi mereka.

Jika hubungan ini kurang diperhatikan, anak bisa kesulitan dalam mengekspresikan perasaan mereka.

Baca Juga :  Peningkatan Kapasitas Pengurus Tim Penggerak PKK Jawa Tengah di Bandung

Keterbukaan komunikasi dalam keluarga memiliki dampak besar terhadap kualitas hubungan antar anggota keluarga.

Seringkali, faktor lingkungan dan pengaruh dari media sosial juga berkontribusi pada gangguan komunikasi yang seharusnya bisa diselesaikan secara baik-baik, yang pada akhirnya menambah kesalahpahaman.

Menurut pendapat psikolog ternama, Rose Mini Agus Salim, M.Psi., yang dikenal dengan nama Bunda Romi, reaksi Lolly yang berteriak histeris dapat dilihat sebagai manifestasi dari ketakutannya.

Bunda Romi menyatakan bahwa seandainya ada komunikasi yang jelas antara Nikita Mirzani dan Lolly sebelum penjemputan tersebut, reaksi histeris dari Lolly mungkin bisa dihindari.

Tanpa adanya komunikasi tersebut, Lolly akhirnya merespons dengan rasa takut, marah, dan cemas.

Ia menyarankan bahwa jika ibu dan anak berbicara terlebih dahulu tentang situasi tersebut, seperti memberi tahu “Nanti kamu datang ke rumah ya” atau “Mamah nanti jemput,” kemungkinan besar situasinya bisa lebih terkendali.

Dalam kasus ini, kurangnya komunikasi memunculkan perasaan ketakutan dan kecemasan yang campur aduk.

Komunikasi orang tua dan anak

Bunda Romi juga menekankan betapa pentingnya komunikasi yang terbuka antara ibu dan anak untuk mencegah insiden yang tidak diinginkan.

Di sisi lain, Bunda Romi melihat bahwa Lolly tampaknya terkejut dengan kenyataan bahwa perkataan yang diucapkannya akhirnya menjadi sesuatu yang terjadi.

Kasus yang melibatkan Lolly ini mencerminkan pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap psikologi anak dalam menghadapi situasi keluarga yang penuh tekanan dan konflik.

Dampak dari hubungan yang tidak harmonis antara orang tua dan anak, serta keterlibatan dalam masalah hukum, dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan mental anak.

Oleh karena itu, penting bagi pihak berwenang dan keluarga untuk memberikan dukungan psikologis yang tepat guna membantu anak menjalani masa sulit ini, serta memastikan kesejahteraan dan stabilitas psikologisnya tetap terjaga.

Penulis: Umi Hanifah (Content Writer Pintasan.co)