Pintasan.co – Aktivitas tambang nikel di Kawasan Raja Ampat tengah menjadi sorotan publik lantaran dianggap berpengaruh pada ekosistem.

Ketua Kohati PB HMI Bidang Lingkungan Hidup, Desti Aulia pun turut menyoroti hebohnya kekhawatiran publik soal aktivitas tambang nikel di Raja Ampat.

Menurut Desti, kekhawatiran publik merupakan hal yang wajar lantaran Raja Ampat merupakan kawasan wisata eksotis yang menjadi kemegahan alam Indonesia.

“Raja Ampat adalah permata biru di ujung timur Indonesia, tempat laut yang jernih, karang yang megah, dan pulau-pulau yang memeluk langit bersatu menciptakan harmoni alam yang menakjubkan. Di balik keindahan ini, hidup suku-suku adat yang menjaga tanah dan laut dengan kearifan turun-temurun,” ujar Desti melalui keterangan resmi pada Minggu, 8 Juni 2025.

“Raja Ampat bukan hanya milik Papua saja, ia adalah paru-paru laut dunia, penyangga ekosistem global yang memberi kehidupan bagi seluruh bumi. Menjaganya berarti menjaga masa depan kita semua,” sambungnya.

Potret aktivitas tambang nikel di Kawasan Raja Ampat

Menyoroti isu tambang nikel di Raja Ampat yang kian mencuat, Desti menilai adanya pertarungan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

“Raja Ampat adalah jantung keanekaragaman hayati dunia, rumah bagi masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam, dan warisan tak ternilai bagi generasi mendatang. Isu tambang nikel di Raja Ampat ini menyorot pertarungan antara kepentingan ekonomi (ekstraktif) dan pelestarian lingkungan serta pariwisata berkelanjutan,” jelasnya.

Meski kekayaan alam di Raja Ampat memiliki nilai ekonomis yang tinggi, Desti menekankan pentingnya perhatian serius terhadap dampak bagi kehidupan masyarakat adat di sana terutama pada perempuan dan masa depan anak-anak.

Pasalnya, ia menilai akan ada dampak bagi kehidupan masyarakat setempat yang menggantungkan hidupnya kepada hasil alam.

“Begitupun Perempuan melihat dampak tambang bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi dari keseimbangan hidup, hubungan dengan alam, kesehatan keluarga, dan masa depan anak-anak,” ungkapnya.

“Perempuan adat Raja Ampat memiliki hubungan erat dengan hutan, laut, dan tanah. Mereka menggantungkan hidup dari berkebun, menangkap ikan, dan mengelola hasil hutan. Perempuan juga sangat merasakan dampak dari pertambangan yang merusak alam,” imbuhnya.

Selengkapnya, Ketua Kohati PB HMI Bidang Lungkungan Hidup memaparkan hasil analisa dan kajian menyeluruh mulai dari sisi aturan, dampak hingga rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

1. Dari Sisi Aturan (Regulasi Hukum Lingkungan & Pertambangan)

a. Dasar Hukum Terkait Pertambangan

• UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menggantikan UU No. 4 Tahun 2009. UU ini memberi kewenangan besar pada pemerintah pusat untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

• UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) mewajibkan setiap kegiatan yang berdampak besar terhadap lingkungan harus memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

• Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur klasifikasi wilayah yang rawan terhadap aktivitas industri dan zona perlindungan laut.

b. Status Kawasan Raja Ampat

• Raja Ampat adalah salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang ditetapkan untuk konservasi dan pariwisata, bahkan termasuk dalam Coral Triangle — wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.

• UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (yang diperbarui dengan UU No. 1 Tahun 2014) melarang aktivitas tambang di pulau kecil dengan luas <2000 km², kecuali atas persetujuan dan kepentingan nasional — ini celah hukum yang sering digunakan oleh perusahaan dan pemerintah.

2. Dari Sisi Ekologis dan Ekosistem Raja Ampat

a. Ekosistem Unik dan Rentan

• Raja Ampat punya lebih dari 1.500 spesies ikan, 75% spesies karang dunia, dan merupakan pusat ekosistem laut global.

• Aktivitas pertambangan, meski dilakukan secara darat, berpotensi mencemari laut lewat sedimentasi, limbah tailing, dan erosi.

Baca Juga :  2 Oknum Polisi Polres Jepara Menerima Sanksi Demosi, Setelah Positif Konsumsi Sabu Hasil Tes Urine

• Dampak lain adalah gangguan terhadap arus wisata, ekonomi lokal masyarakat adat (nelayan, pemandu wisata, pengrajin), hingga perubahan sosial budaya.

b. Pertentangan dengan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

• Salah satu indikator pembangunan berkelanjutan adalah ketahanan ekologis dan keadilan antargenerasi.

• Kegiatan tambang di daerah sensitif seperti Raja Ampat sangat sulit memenuhi prinsip ini.

• Risiko ekologis lebih besar daripada manfaat ekonominya, apalagi jika pengelolaan tidak dilakukan dengan partisipasi masyarakat adat dan tidak transparan.

3. Dari sisi Dampak Aktivitas Pertambangan terhadap Perempuan di Raja Ampat

a. Hilangnya Akses terhadap Sumber Daya Alam

Perempuan adat Raja Ampat memiliki hubungan erat dengan hutan, laut, dan tanah. Mereka menggantungkan hidup dari berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan, sehingga perempuan kehilangan sumber pangan, air bersih, dan obat-obatan alami.

b. Kemiskinan dan Ketergantungan Ekonomi

Banyak perempuan yang menjadikan ekonomi tergantung pada pasar atau pihak luar, dan terpinggirkan dari sistem ekonomi lokal.

c. Eksklusi dalam Pengambilan Keputusan

Dalam banyak kasus, perempuan tidak dilibatkan dalam rapat adat atau pertemuan dengan pihak perusahaan tambang. Hal ini membuat suara mereka tidak terdengar, padahal mereka merasakan dampaknya secara langsung.

d. Ancaman Sosial dan Budaya

Masuknya tambang membawa pekerja luar dan pola hidup baru (misalnya, konsumsi alkohol, kekerasan, prostitusi). Ini menimbulkan resiko sosial, termasuk meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan hilangnya nilai-nilai adat.

Kita bisa lihat berbagai sumber dari dampak dan reaksi masyarakat sebagai berikut:

• Total delapan perusahaan tambang telah mengantongi izin di Raja Ampat. Sumber: reddit.com, suarapapua.com, ekuatorial.com

• Masyarakat adat dari beberapa kampung di Distrik Waigeo Barat menyuarakan penolakan tegas, baik lewat petisi, spanduk, maupun demonstrasi publik — sebagai respons terhadap ancaman terhadap ekosistem dan mata pencaharian lokal. Sumber: sorongraya.inews.id, aman.or.id, ekuatorial.com.

Ada sejumlah aktor tambang yang beroperasi di pulau-pulau kecil sensitif di Raja Ampat, tak cuma PT GAG Nikel. Kehadiran mereka — PT ASP/ASI, PT Kawei Sejahtera, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa — menjadi pemicu kekhawatiran serius terhadap kelestarian ekosistem laut dan daratan. Di tengah boomingnya izin usaha dari pusat, masyarakat adat dan pelaku pariwisata lokal sudah bersuara keras menolak.

Rekomendasi Strategis yang bisa dilakukan pemerintah

1. Peninjauan ulang IUP PT GAG Nikel dengan melibatkan akademisi, aktivis lingkungan, aktivis perempuan, tokoh adat, dan pelaku pariwisata.

2. Audit AMDAL secara independen dan transparansi dokumen AMDAL kepada publik.

3. Pemetaan ulang kawasan konservasi laut dan pulau kecil untuk dikeluarkan dari peta eksplorasi pertambangan nasional.

4.Dorongan advokasi hukum melalui instrumen legal seperti gugatan warga negara (citizen lawsuit) atau judicial review atas regulasi yang dianggap tidak pro-lingkungan.

Lebih lanjut Desti menyoroti aktivitas tambang nikel di Raja Ampat yang menunjukkan sisi paradoks pembangunan Indonesia.

“Tambang nikel di Raja Ampat menunjukkan paradoks arah pembangunan Indonesia, antara ambisi industrialisasi berbasis sumber daya alam dan komitmen terhadap pariwisata ekologis serta pelestarian lingkungan,” ungkapnya.

Dengan tegas, Desti menegaskan bahwasannya Kohati PB HMI Bidang Lingkungan Hidup menolak tegas adanya aktivitas pertambangan di Kawasan Raja Ampat.

“Sebagai perempuan dan pengurus Kohati PB HMI bidang Lingkungan Hidup, kami menolak tegas aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Kami menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mengancam ekosistem dan keberlanjutan kawasan tersebut,” tegasnya.

“Melindungi Raja Ampat adalah bagian dari tanggung jawab menjaga bumi. Ia bukan hanya aset wisata dunia, tetapi simbol komitmen Indonesia terhadap pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan,” pungkasnya.