Pintasan.co, Makassar – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat adanya 55 kasus kekerasan seksual di Sulawesi Selatan sepanjang tahun 2024.
Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak, dengan jumlah korban anak-anak mencapai 33 orang dalam rentang usia 14-18 tahun, sementara korban dewasa berusia antara 19-45 tahun.
“Jumlah kasus meningkat menjadi 55 tahun ini,” ungkap Ambara Dewi Purnama, Koordinator Bidang Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar, dalam konferensi pers yang digelar di Kantor LBH Makassar pada Jumat (27/12/2024).
Ambara menjelaskan, para pelaku kekerasan seksual seringkali adalah orang-orang terdekat korban, seperti tetangga, paman, ayah tiri, bahkan guru.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah kekerasan seksual terhadap siswi penyandang disabilitas di kawasan Laniang, Makassar.
Dibandingkan tahun 2023, yang mencatat 19 hingga 20 kasus, angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Namun, hanya dua dari 55 kasus tersebut yang divonis menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Dari semua kasus ini, hanya dua yang berhasil divonis dengan undang-undang TPKS,” ujar Ambara.
Sebanyak 53 kasus lainnya tidak semuanya berlanjut hingga pengadilan. Beberapa kasus berakhir dengan mediasi atau terhenti di tingkat kepolisian.
Selain itu, kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik tetapi juga secara verbal dan melalui platform elektronik.
“Misalnya, ada dua korban pelecehan seksual verbal, tiga korban persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak, korban kekerasan seksual berbasis elektronik, hingga 20 korban pemerkosaan yang menyebabkan kehamilan tidak diinginkan,” jelas Ambara.
Ia juga memaparkan berbagai modus yang digunakan pelaku, mulai dari menyampaikan hasrat seksual dengan bahasa yang melecehkan hingga memanfaatkan kerentanan korban anak-anak.
Modus tersebut meliputi memberikan iming-iming uang, janji membiayai pendidikan hingga kuliah, atau ancaman melaporkan korban kepada orang tua.
Dalam pendampingan kasus, LBH Makassar menghadapi sejumlah kendala, termasuk jarangnya penyidik menggunakan Undang-Undang TPKS.
“Biasanya jika korbannya anak, penyidik hanya menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Padahal, Undang-Undang TPKS memiliki ketentuan yang lebih memudahkan, seperti cukup dengan satu alat bukti, misalnya pengakuan korban, kasus sudah bisa diproses,” tutup Ambara.