Pintasan.co, Sleman – Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman telah menahan Lurah Trihanggo yang berinisial PFY terkait dugaan suap dalam penyalahgunaan Tanah Kas Desa (TKD) di wilayah tersebut.
Penahanan dilakukan setelah PFY ditetapkan sebagai tersangka, bersama dengan ASA, yang berperan sebagai penyewa sekaligus pemberi suap.
Kasi Pidana Khusus Kejari Sleman, Indra Saragih, mengungkapkan bahwa penyidikan kasus suap TKD ini sudah dimulai sejak November tahun lalu.
Jaksa penyidik menduga bahwa Lurah PFY menerima suap dari pihak swasta yang berencana menggunakan TKD tersebut untuk keperluan hiburan malam.
“Uang yang diserahkan pihak swasta totalnya Rp 316 juta. Modusnya seakan akan uang itu sebagai sewa tanah. Padahal sewa TKD harus ada izin Gubernur. Sewa baru bisa sepanjang ada izin Gubernur. Kalau tidak ada izin, mana bisa ada sewa,” kata Indra, Selasa (15/4/2025).
Lurah Trihanggo diduga menerima suap dari ASA, seorang pengusaha yang berniat menyewa Tanah Kas Desa (TKD) seluas sekitar 2,5 hektar di wilayah Kronggahan 1. Lahan tersebut rencananya akan digunakan untuk dijadikan tempat hiburan malam.
Rencana pembangunan tempat hiburan malam di atas Tanah Kas Desa (TKD) ini sempat menuai penolakan dari masyarakat. Ratusan warga yang tergabung dalam Forum Kronggahan Bersatu melakukan aksi unjuk rasa di Pendopo Kabupaten Sleman pada 2 Oktober 2024, menentang rencana tersebut karena tempat hiburan malam akan dibangun di wilayah pemukiman mereka. Warga merasa resah karena pembangunan telah dimulai, namun izin usaha tersebut belum diperoleh.
Menurut Indra, dalam kasus ini, Lurah yang telah ditetapkan sebagai tersangka mengklaim bahwa uang ratusan juta yang diterima dari penyewa dianggap sebagai pembayaran sewa, sesuai dengan peraturan yang berlaku di Kalurahan.
Namun, perhitungan sewa tersebut dilakukan secara mandiri oleh lurah tanpa melibatkan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai nilai sewa tanah tersebut. Seharusnya, dalam perjanjian sewa tanah, jasa penilai publik harus dilibatkan.
“Jadi harus ada penilai publik terhadap luas tanah itu. Kalau mau disewa per meter berapa, dikalikan. Itu yang dijadikan dasar untuk perjanjian sewa. Tapi itu tidak dilalui, itu tidak ada,” terangnya.
Atas hal ini, PFY disangka melanggar pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 undang-undang nomor 20 tahun 2021 tentang perubahan undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan ASA, pemberi suap disangka melanggar pasal 5 ayat 1 atau pasal 13.
Ancaman hukumannya penjara paling lama 5 tahun. Kedua tersangka saat ini telah ditahan.
“PFY ditahan di rutan Jogja. Kalau ari pihak swasta, ASA, ditahan di Lapas Cebongan,” kata Indra.