Pintasan.co, Jakarta – Sepak bola bukan sekadar permainan. Ia adalah harapan, identitas, dan kadang mukjizat yang datang dari kaki-kaki yang percaya.”

Di ujung timur Indonesia, sebuah cerita tak biasa ditulis dengan keringat, kerja keras, dan cinta yang membara: Malut United, klub dari Maluku Utara yang musim ini sebagai tim promosi, mengejutkan semua orang dengan finis di peringkat ketiga Liga 1 Indonesia.

Di tengah dominasi tim-tim mapan, Malut United muncul seperti ombak baru yang menabrak karang sejarah: keras, berani, dan penuh arah.

Prestasi ini bukan sekadar angka di klasemen. Ia menjadi metafora dari kebangkitan wilayah yang selama ini kerap dipinggirkan dalam percaturan nasional.

Sebagaimana nyanyian laut yang tak pernah lelah menyuarakan asal-usulnya, Malut United membawa semangat tanah kelahiran, bahwa dari timur, cahaya pun bisa menyala. Tak hanya logamnya yang sedang bersinar, sepak bolanya pun ikut berbinar.

Kisah-Kisah Langka

Prestasi Malut United sebagai tim promosi yang langsung menembus papan atas Liga 1, mengingatkan kita pada kisah-kisah langka di Eropa.

Kisah klasik Ipswich Town di Inggris, ketika dipimpin manajer brilian George Burley, mampu finish ketiga pada musim 2000/2001, musim pertamanya di liga Premier Inggris. Ataupun RB Leipzig di Jerman, yang baru promosi dan langsung menjadi penantang serius gelar Bundesliga.

Klub sepakbola dari wilayah Leipzig, Jerman Timur ini baru promosi ke Bundesliga pada musim 2016/2017, dan finish sebagai runner-up Bundesliga pada musim tersebut.

Di Spanyol ada Girona FC, klub kecil dari Catalonia, yang setelah promosi, mampu menantang raksasa-raksasa La Liga dan menembus zona Liga Champion untuk pertama kali dalam sejarah klub pada musim 2023/2024.

Sejarah sepakbola Indonesia pun pernah mencatat kisah langka serupa. Pada dekade 1990an, ada PSIS Semarang, dan Persik Kediri yang menjadi juara Divisi Utama setelah promosi dari divisi satu.

Saat itu format kompetisi di divisi utama masih menggunakan pembagian wilayah timur dan barat. Tak semua tim yang berkompetisi saling ketemu.

Hal ini berbeda dengan format kompetisi liga 1 Indonesia, yang dimulai lagi sejak tahun 2017, dimana semua tim saling ketemu home-away, serta juara dan peringkat ditentukan klasemen akhir.

Pada musim kompetisi 1998/1999, PSIS Semarang yang saat itu dinahkodai oleh pelatih legendaris Sartono Anwar mampu tampil disiplin dan konsisten sehingga menjuarai Liga Indonesia pada musim tersebut.

Tiga tahun kemudian, Persik Kediri, klub sepakbola dari salah satu kota kecil di Jawa Timur, kembali mengejutkan persepakbolaan tanah air, setelah menjuarai Liga Indonesia untuk pertama kalinya, juga sebagai tim promosi, setelah mengalahkan Persija Jakarta di Gelora Bung Karno dengan gol-gol yang dicetak oleh dua pemain legendarisnya Cristian Carrasco dan Budi Sudarsosno (Persik menang 2-1 dari Persija).

Ipswich Town, Girona FC dan RB Lepzig di Eropa, serta PSIS dan Persik, dan kini Malut United, punya kisah dan semangat yang sama.

Mereka mengguncang tatanan kasta atas, melampaui ekspektasi, dan menulis cerita sendiri di buku besar sepakbola. Mereka hadir bukan sebagai figuran, mereka lakonnya.

Baca Juga :  Kebobolan 3 Gol, Begini Penilaian Pelatih Kiper Persib untuk Debut Perdana Sheva

Jejak Visi dan Komitmen Sang Pemilik

Di balik keberhasilan ini, ada satu nama yang tak bisa dilewatkan yaitu David Glenn. Namanya layak disebut dalam napas yang sama dengan kesuksesan Malut United. David bukan hanya pemilik klub, tapi seorang penjaga mimpi.

Di saat banyak pemodal hanya bicara angka dan target, David berbicara tentang makna. Tentang bagaimana klub sepak bola bisa menjadi etalase mimpi dan cita-cita, ruang pertumbuhan manusia, serta ruang pertemuan harapan dan kenyataan.

David tak hanya mendanai klub, ia membersamai klub. Ia mendampingi bukan dari jauh, tapi dari dekat. Ia tak menonton dari ruang VIP stadion, ia duduk berdampingan dengan pemain dan pelatih di technical area, bench pemain.

Ia membangun dari dasar, menyusun struktur yang tak kasat mata yaitu disiplin, religius, profesionalisme, dan rasa hormat pada identitas lokal.

Di balik layar, David memupuk infrastruktur, membangun akademi, dan menjadikan klub sebagai bagian dari kebanggaan identitas orang-orang Maluku secara keseluruhan.

Seperti pemilik-pemilik progresif di Eropa, Red Bull di Leipzig atau pemilik Girona di Spanyol, David Glenn memahami bahwa investasi terbaik dalam sepak bola bukanlah pada nama besar, tapi pada fondasi yang kuat dan jiwa yang menyala.

Nyanyian dari Timur

Malut United bukan hanya tentang pemain, pelatih, dan juga pemilik. Ia adalah cerita tentang sinergi antara klub dan tanahnya.

Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dunia usaha, semua menaruh kepercayaan bahwa sepak bola bisa menjadi simbol yang menyatukan. Stadion bukan lagi ruang hiburan, tetapi ruang perayaan bersama, tentang siapa kita dan ke mana kita ingin melangkah.

Inilah yang membedakan Malut United. Ia dibangun bukan sekadar untuk bertanding, tapi untuk menjadi corong, simbol dan representasi wilayah.

Tak hanya utaranya Maluku, namun juga harapan yang datang dari selatan Maluku, hingga tanah Papua. Ia menjadi nyanyian dari Timur Indonesia.

Stadion Kie Raha menjadi orkestra semangat. Jejak sejarah perjuangan dan perlawanan para leluhur seakan menjadi tambahan energi tak terbatas yang merasuk ke dalam semangat juang pemain.

Masyarakatnya pun tidak datang hanya untuk menonton, tapi untuk merayakan hidup. Mereka menyanyi, bersorak, dan menangis bersama. Mereka bukan penonton, mereka adalah bagian dari tubuh klub itu sendiri.

Tentunya prestasi ini bukan akhir. Ia adalah permulaan dari narasi besar bahwa sepak bola dari timur Indonesia bisa berbicara, bisa berdaya, bisa menjadi teladan.

Malut United telah menunjukkan jalannya. Sepak bola bukan hanya tentang kompetisi, tetapi tentang menyatukan, membangun, dan menginspirasi.

Mereka tidak hanya mencetak gol, mereka mencetak sejarah. Mereka tidak hanya memenangkan laga, mereka memenangkan hati.

Dan di atas semuanya, mereka telah membuktikan satu hal: dari timur, kemenangan pun bisa datang dengan cahaya paling terang. Mereka pun meneguhkan hal yang lain: tak hanya politik, sepakbola pun adalah seni kemungkinan!

Opini : Adjie Alfaraby (Penikmat sepakbola nasional dan internasional. Bekerja sebagai pollster dan konsultan di LSI Denny JA).