Pintasan.co, Palu – Senjata tradisional berbentuk pedang dari Sulawesi Tengah memiliki nama yang berbeda di setiap wilayah.

Di Kabupaten Poso, masyarakat Pamona menyebutnya Penai, sementara di Kabupaten Banggai dikenal sebagai Bajak.

Suku Kaili yang tersebar di Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong menamainya Guma. Beragam sebutan ini mencerminkan kekayaan budaya dari setiap daerah.

Menurut Iksam Djorimi, Kepala Bidang Perlindungan dan Pelestarian Kebudayaan Dinas Kebudayaan Sulawesi Tengah, senjata ini telah ada sejak zaman prasejarah, khususnya pada era Megalitik.

Pada masa Paleometalik, masyarakat mulai mengenal logam, sebagaimana terlihat dari temuan senjata Guma di masa itu.

“Sebagian besar senjata tradisional ini dibuat dari bijih besi yang ditempa, meskipun metode pembuatannya berbeda-beda di setiap wilayah,” ujar Iksam.

Pembuatan Guma di tanah Kaili tidak lepas dari tradisi dan ritual khas. Salah satu ritualnya adalah “noingga,” di mana seorang pandai besi wajib mengenakan gelang adat selama proses pembuatan senjata.

Guma juga memiliki berbagai jenis gagang dan hiasan yang mencerminkan status sosial dan fungsi pemakainya.

Misalnya, gagang bernama Petondu dengan motif ekor udang dipakai oleh kalangan Tadulako atau pejuang, sedangkan Guma Kalama dengan motif jari manusia digunakan dalam upacara bangsawan.

Ada pula Kajajonga untuk ritual bangsawan, serta Ndasu dan Ndasui, hiasan ujung sarung yang membedakan prajurit muda, prajurit senior, dan bangsawan.

Penemuan arkeologis di Lembah Pekurehua, Desa Tamadue, Poso, pada tahun 2012 memperkuat jejak sejarah Guma.

Temuan berupa kerangka manusia utuh beserta mata tombak dan Piho dari besi berusia 1.500 tahun menjadi bukti keberadaan senjata ini sejak ribuan tahun lalu.

Saat ini, Guma telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dan menjadi simbol identitas nasional Indonesia.

Baca Juga :  Festival Budaya Sulawesi Tengah Jadi Sorotan, Pengunjung Antusias Sambut Warisan Leluhur

Upaya melestarikan warisan budaya ini pun menjadi tanggung jawab bersama, mengingat nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya.