Pintasan.co, Semarang – Sekretaris Ketakmiran Masjid Agung Semarang, Muhaimin menjelaskan bahwa Kampung Kauman adalah sebuah kawasan perkampungan yang selalu ada dalam struktur kota di Jawa, biasanya berdekatan dengan masjid besar.

Berdasarkan sejarah, pembentukan perkampungan Kauman merupakan model sentral yang diterapkan sejak era Kerajaan Demak hingga Mataram.

Nama Kauman berasal dari kata “Kaum,” yang berarti kelompok, sehingga sebutan Kauman merujuk pada kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar masjid besar.

Mereka mendiami rumah-rumah yang berada di sekitar masjid tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama perkampungan Kauman. Masyarakat Kauman memiliki aturan-aturan yang menjadi kesepakatan bersama.

Aturan-aturan tersebut banyak bersumber dari ajaran Islam karena mayoritas masyarakat perkampungan Kauman beragama Islam. 

“Karakter masyarakatnya selain agamis adalah homogen, paternalistik, dan primordialisme, tetapi tetap humanis dan kekeluargaan, serta bisa memaklumi adanya perbedaan,” katanya.

Masyarakat Kauman sering disebut sebagai masyarakat indogami kampung, yaitu komunitas yang mayoritas penduduknya menikah dengan orang dari kampung yang sama.

Karakter masyarakat Kauman tersebut membuat pranata dan nilai-nilai dalam komunitasnya tetap terjaga hingga kini. Namun, ada keunikan tersendiri ketika membahas perkampungan Kauman di Semarang.

Untuk lebih memperjelas, sebutan Kauman Johar perlu ditambahkan, karena di Semarang terdapat tiga kawasan lain yang juga disebut Kauman.

Ketiga kawasan tersebut adalah Kauman Pedurungan, Kauman Mangkang, dan Kauman Genuk, yang merupakan daerah pemekaran di Kota Semarang dan sebelumnya tidak termasuk dalam wilayah Semarang asli.

Kehidupan masyarakat Kauman sekitar Masjid Agung Semarang tidak terlepas dari keberadaan Pasar Johar, karena keduanya membentuk satu kesatuan wilayah perdagangan.

Mayoritas masyarakat di sana mengandalkan mata pencaharian mereka dalam bidang perdagangan, baik skala kecil maupun besar.

“Pasar Johar sudah sejak lama menjadi tumpuan hidup masyarakat Kauman pada umumnya, bahkan sampai saat ini lebih dari 50 persen masyarakat Kauman berprofesi dalam bidang perdagangan,” katanya.

Selain itu, dia juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang Kauman adalah masyarakat yang tinggal di kawasan yang dilintasi oleh Jalan Kauman, yang bermula di Masjid Agung Semarang dan berakhir di pertigaan Kranggan.

Penyebutan perkampungan Kauman di Semarang berbeda dengan penyebutan Kelurahan Kauman. Kelurahan Kauman merujuk pada wilayah administratif yang termasuk dalam Pemerintah Kecamatan Semarang Tengah.

Baca Juga :  Kanwil Kemenkumham Jateng dan LPSK Perkuat Kerja Sama dalam Pengelolaan JDIH

Sementara itu, istilah “wong” Kauman merujuk pada karakter masyarakat yang tinggal di perkampungan Kauman, yang bisa saja merupakan warga Kelurahan Kauman atau Kelurahan Bangunharjo.

Artinya, ada sebagian warga Kelurahan Kauman yang tidak disebut sebagai wong Kauman, seperti warga yang tinggal di Kampung Tamtim, Sumeneban, Sedogan, dan kampung-kampung sekitarnya, meskipun mereka secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Kauman.

“Sebaliknya, ada sebagian warga Kelurahan Bangunharjo yang berada di Kampung Glondong, Kepatihan, Buk, Getekan, dan kampung-kampung sekiarnya, meskipun tidak berada di wilayah Kelurahan Kauman, malah biasa disebut sebagai wong Kauman,” tuturnya.

Muhaimin menjelaskan bahwa Kampung Kauman juga dikenal sebagai pusat penyebaran syiar Islam, terutama dalam pengembangan Al Qur’an. Sejak 2015, Kauman resmi ditetapkan sebagai Kampung Al Qur’an di Semarang, mengingat perannya yang telah lama menjadi pelopor dalam pengembangan Al Qur’an.

“Karena terdapat Toko Toha Putra, sebagai cikal bakal penerbit Al Qur’an terbesar di Indonesia. Juga terdapat tiga Pondok Pesantren Penghafal Al Qur’an, yaitu Tahafudzul Qur’an, Raudhatul Qur’an, dan Mathlabu Mafazil Qur’an,” katanya.

Sementara itu, Tedi Kholiludin, seorang pemerhati sejarah di Kota Semarang, mengungkapkan bahwa kehidupan masyarakat di Kampung Kauman mencerminkan kehidupan kaum santri.

Ia menjelaskan bahwa daerah tersebut sejak dahulu dihuni oleh masyarakat pribumi Jawa Muslim, terutama kalangan santri, dan hal itu masih berlangsung hingga sekarang.

“Ini beda dengan Kampung Melayu yang relatif multi kultural karena di lokasi tersebut dekat laut tempat lalu lalang berniaga. Kalau Kauman menurut saya relatif homogen, ini konteksnya pada saat itu ya,” ujarnya 

Dia juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa tokoh penting yang berperan dalam kehidupan kampung Kauman, salah satunya sebagai pengurus Nahdlatul Ulama yang pertama di Semarang.

“Semarang menjadi cabang pertama di luar Jawa Timur, inisiatornya Kyai Ridwan Mujahid beliau orang Kauman Semarang yang memprakarsai pendirian NU di Semarang. Ya di Kauman itu,” katanya

Dirinya juga mengecek beberapa alamat para pengurus NU Semarang, dari hasil risetnya sebagian besar dari mereka berasal dari Kauman Semarang.

“Pada tahun 1928 ini pengurus yang di Semarang sebagian besar berasal dari Kauman, ini menandakan bahwa Kauman merupakan wilayahnya santri atau atmosfer keislamannya melambangkan pola kehidupan Jawa santri,” tuturnya.