Pintasan.co, Jakarta – Ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan dan masa depan ekowisata Raja Ampat menjadi sorotan utama dalam diskusi publik bertajuk Majelis Tambang yang diselenggarakan oleh Melankolis Institute secara daring.
Narasumber dalam forum tersebut, Bayu Yusya dan Riyanda Barmawi, mendesak pemerintah untuk mencabut izin usaha pertambangan di wilayah-wilayah pulau kecil, termasuk Pulau Gag di Raja Ampat.
Bayu Yusya, analis hukum dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), menegaskan bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Ia menjelaskan bahwa pertambangan bukanlah kegiatan prioritas yang diperbolehkan di pulau kecil, yang luasnya di bawah 2.000 km², karena berisiko besar terhadap ekosistem dan masyarakat lokal.
“Pertambangan di Pulau Gag adalah bentuk abnormally dangerous activity yang merusak. Negara tidak boleh tinggal diam. Ini bukan soal moratorium sementara, izin harus dicabut total demi keberlanjutan dan demi anak cucu kita,” tegas Bayu.
Ia juga menekankan bahwa pencabutan izin merupakan langkah hukum yang sah.
“Negara punya kewenangan untuk mencabut izin. Bahkan jika digugat ke PTUN, mayoritas negara menang. Artinya, negara bisa dan harus mengambil langkah tegas,” lanjutnya.
Riyanda Barmawi, Direktur Anatomi Pertambangan Indonesia (API), juga menyuarakan keprihatinan serupa. Ia menyebut PT Gag Nikel sebagai contoh nyata investasi tambang yang mengabaikan aspek keberlanjutan.
“Sejak 2017, PT Gag telah mengantongi izin di atas lahan seluas 13.136 hektare. Tapi apa yang kita lihat? Ekosistem rusak, masyarakat tak merasakan manfaat langsung, dan kawasan potensial wisata justru berubah menjadi wilayah krisis,” katanya.
Riyanda menambahkan, “Kita harus punya prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satu indikatornya adalah ketahanan ekologis. Kalau lingkungan hancur, maka daerah ini hanya akan meninggalkan kota-kota mati pasca tambang.”
Ia juga mempertanyakan distribusi manfaat dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diklaim mencapai dua triliun rupiah.
“Jumlah besar, tapi berapa yang benar-benar sampai ke masyarakat lokal? Jangan sampai hanya menjadi keuntungan bagi pemilik saham, apalagi kalau mayoritas sahamnya dikuasai asing,” ujarnya.
Diskusi Majelis Tambang ini menjadi ruang refleksi penting mengenai urgensi reformasi tata kelola pertambangan di Indonesia.
Para narasumber menyuarakan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara adil, berkelanjutan, dan berpihak kepada kepentingan publik, bukan segelintir pemilik modal.
Bayu menutup dengan ajakan agar peran negara tidak hanya berhenti pada pengawasan administratif, tapi juga proaktif dalam melindungi wilayah-wilayah rentan.
“Tanpa negara, suara masyarakat akan terus tenggelam. Kita perlu gerakan sistematis dan kolektif untuk mengakhiri kutukan sumber daya alam yang menyisakan kerusakan dan ketimpangan.”