Pintasan.co, Jakarta – Istilah “Omnibus Cilaka” telah menjadi kritik tajam terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020.
Singkatan “Cilaka” yang merupakan plesetan dari “Cipta Lapangan Kerja” merefleksikan penolakan terhadap undang-undang ini, yang dianggap membawa dampak buruk.
Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyederhanakan regulasi guna mendorong investasi dan membuka lapangan kerja.
Namun, di balik janji manis tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa pekerja akan semakin terbebani dengan fleksibilitas kerja yang tinggi dan perlindungan yang minim.
Cakupan undang-undang ini sangat luas, mencakup berbagai sektor strategis. Meskipun pemerintah meyakini undang-undang ini akan merangsang pertumbuhan ekonomi, namun banyak pihak, terutama kelompok pekerja dan lingkungan, menentang keras undang-undang ini.
Mereka berargumen bahwa undang-undang ini mengorbankan hak-hak pekerja dan melemahkan perlindungan lingkungan.
Omnibus Law, yang disusun secara tertutup dan tidak demokratis, mengundang kecurigaan bahwa undang-undang ini lebih menguntungkan segelintir kelompok, terutama investor asing.
Kemudahan dalam mengakses tanah dan tenaga kerja justru bisa memicu eksploitasi terhadap pekerja dan lingkungan.
Dengan Omnibus Law, pemerintah seolah-olah memberikan karpet merah bagi para pengusaha. Kemudahan dalam mengurus perizinan dan tenaga kerja akan sangat menguntungkan bisnis, terutama perusahaan besar.
Namun, perlu dipertanyakan apakah keuntungan ini akan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk pekerja dan masyarakat kecil.
Isinya yang mirip dengan kebijakan kolonial, serta upaya pemerintah memaksakannya dengan melibatkan aparat keamanan, menunjukkan adanya agenda tersembunyi untuk menguasai sumber daya alam dan tanah rakyat secara sewenang-wenang.
Akibatnya, kedaulatan rakyat terancam, lingkungan hidup terdegradasi, dan kesejahteraan pekerja semakin terpinggirkan.
Proses pembuatan undang-undang yang tidak transparan dan partisipatif semakin memperkuat anggapan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan kepentingan bisnis daripada suara rakyat.
Omnibus Law dinilai sebagai kemunduran demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia, yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan.
Perlu kita ketahui bahwa UU Ketenagakerjaan dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki perbedaan mencolok dalam cakupan dan fleksibilitas.
UU Ketenagakerjaan berfokus pada hubungan antara pekerja dan pengusaha, sementara RUU Omnibus Law mencakup sektor yang lebih luas, termasuk investasi dan perizinan, dengan tujuan menyederhanakan regulasi.
Dari segi fleksibilitas, UU Ketenagakerjaan lebih kaku dalam perlindungan pekerja, sedangkan RUU Omnibus Law memberikan lebih banyak kebebasan bagi pengusaha dalam hal pengaturan tenaga kerja.
Dalam hal perlindungan pekerja, UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan komprehensif terkait upah minimum, jaminan sosial, cuti, dan PHK. Sebaliknya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap mengurangi beberapa hak pekerja, terutama terkait pesangon, upah minimum, dan penggunaan outsourcing.
Peraturan dalam RUU ini dianggap lebih berpihak kepada pengusaha, memberikan mereka lebih banyak fleksibilitas dalam mengelola tenaga kerja.
Proses penyusunan kedua undang-undang juga berbeda. UU Ketenagakerjaan disusun melalui proses panjang yang melibatkan serikat pekerja dan pengusaha, sementara RUU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap kurang transparan dan kurang melibatkan partisipasi publik.
Selain itu, RUU Cipta Kerja memberikan lebih banyak kewenangan kepada pemerintah daerah dalam menetapkan upah minimum dan mempermudah pengusaha dalam melakukan PHK, yang menjadi sumber kontroversi di kalangan